Engkizarquran

PLAGIARISME DIKALANGAN MAHASISWA

DALAM MEMBUAT TUGAS-TUGAS PERKULIAHAN

PADA FAKULTAS TARBIYAH IAIN IMAM BONJOL PADANG

Engkizar, SIQ, M.Ed

Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM)

engkizar_quran@yahoo.com

HP: 0821-342649

Muhammad Zalnur M.Ag

Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol (IAIN-IB) Padang

Tel: 0853-75909908

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk perilaku plagiarisme yang dilakukan oleh mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan dan faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku plagiarisme tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan kajian kes (case study research design). Data penelitian sepenuhnya diambil melalui wawancara mendalam (indepth interview) kepada sepuluh responden yang terlibat yang terdiri dari enam mahasiswa dan empat mahasiswi yang sedang belajar di Fakultas Tarbiyah IAIN-IB Padang. Seluruh data penelitian ini kemudian dianalisis secara tematik menggunakan alat analisis kualitatif NVivo 8. Hasil penelitian mendapati bahwa terdapat tiga bentuk perilaku plagiarisme yang sering dilakukan mahasiswa dalam meyelesaikan tugas-tugas perkuliahan: (i) mengambil tulisan orang lain kemudian diakui sebagai karya sendiri, (ii)…

Lihat pos aslinya 2.061 kata lagi

Published in: on Oktober 14, 2016 at 9:06 am  Tinggalkan sebuah Komentar  

PLAGIARISME DIKALANGAN MAHASISWA

DALAM MEMBUAT TUGAS-TUGAS PERKULIAHAN

PADA FAKULTAS TARBIYAH IAIN IMAM BONJOL PADANG

 

Engkizar, SIQ, M.Ed

Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM)

engkizar_quran@yahoo.com

HP: 0821-342649

Muhammad Zalnur M.Ag

Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol (IAIN-IB) Padang

Tel: 0853-75909908

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk perilaku plagiarisme yang dilakukan oleh mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan dan faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku plagiarisme tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan kajian kes (case study research design). Data penelitian sepenuhnya diambil melalui wawancara mendalam (indepth interview) kepada sepuluh responden yang terlibat yang terdiri dari enam mahasiswa dan empat mahasiswi yang sedang belajar di Fakultas Tarbiyah IAIN-IB Padang. Seluruh data penelitian ini kemudian dianalisis secara tematik menggunakan alat analisis kualitatif NVivo 8. Hasil penelitian mendapati bahwa terdapat tiga bentuk perilaku plagiarisme yang sering dilakukan mahasiswa dalam meyelesaikan tugas-tugas perkuliahan: (i) mengambil tulisan orang lain kemudian diakui sebagai karya sendiri, (ii) mengambil idea atau batang tubuh pikiran orang lain untuk selanjutnya dirubah ke dalam bahasa sendiri dan (iii) mengambil teks secara keseluruhan tanpa mengubah tulisan maupun menambah dengan analisis maupun komentar apapun. Sedangkan faktor-faktor penyebab timbulnya tindakan plagiarisme tersebut adalah: (i) perkembangan teknologi informasi dan (ii) tingginya volume tugas perkuliahan sedangkan alokasi waktu yang tersedia sangat terbatas.

Kata Kunci: plagiarisme, bentuk-bentuk perilaku plagiarisme, penyebab plagiarisme

1.Pendahuluan

Plagiarisme berasal dari bahasa latin plagiarus yang bermakna penculik (Saunders, 1993). Sedangkan di dalam kamus Law Dictionary (2003) plagiarisme didefinisikan sebagai berikut:

                “Taking the writings or literary concepts (a plot, characters, words) of another and selling and/or publishing them as one’s own product. Quotes which are brief or are acknowledged as quotes do not constitute plagiarism. The actual author can bring a lawsuit for appropriation of his/her work against the plagiarist and recover the profits. Normally plagiarism is not a crime, but it can be used as the basis of a fraud charge or copyright infringement if prior creation can be proved.

                Sementara (Felicia Utorodewo 2007; Eri Wijaya 2008) telah menetapkan tujuh ciri-ciri tindakan plagiarisme yaitu:

  1. mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri.
  2. mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri.
  3. mengakui temuan orang lain sebagai kepunyaan sendiri.
  4. mengakui karya kelompok sebagai kepunyaan atau hasil sendiri.
  5. menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda tanpa menyebutkan asal-usulnya.
  6. meringkas dan memparafrasekan (mengutip tak langsung) tanpa menyebutkan sumbernya.
  7. meringkas dan memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya masih terlalu sama dengan sumbernya.

           Kramer et al (1995) dan Wray (2006) menyatakan bahwa palgiarisme terjadi ketika seorang penulis mengambil karya intelektual seperti gagasan, pendapat, temuan, simpulan, data, kalimat dan kata-kata orang lain sehingga pembaca menganggap bahwa karya intelektual itu merupakan karya penulis tersebut. Dari defenisi serta pendapat di atas, maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa tindakan plagiarisme merupakan salah satu “kejahatan intelektual” yang terjadi di dalam dunia akademik, kejahatan tersebut dapat tergambar dari perilaku pencurian, penipuan, penculikan dan pengakuan hasil penelitian maupun tulisan orang lain yang kemudian diakui sebagai karya sendiri

2. Latar Belakang Masalah

Sebelumnya telah coba peneliti sentuh bahwa tindakan plagiarisme merupakan sebuah bentuk kejahatan di dalam dunia akademik. Di Indonesia kasus-kasus plagiarisme di dunia akademik bukan lagi isu yang baru. Menurut (Fasli Jalal 2010) bahwa tindakan plagiarisme (menjiplak) karya tulis ilmiah orang lain yang kemudian diakui sebagai karya sendiri sebenarnya sudah lama berlangsung di berbagai institusi perguruan tinggi di negeri ini. Beliau lebih lanjut menjelaskan bahwa sesungguhnya kasus plagiarisme tersebut tidak hanya dilakukan oleh para kaum civitas akademik seperti mahasiswa, dosen dan guru, akan tetapi juga dilakukan oleh pejabat publik di berbagai institusi pemerintah lainnya.

Pernyataan di atas menurut peneliti bukanlah tidak mempunyai dasar, perkara tersebut dapat dibuktikan dengan sebuah kasus berikut. Sebagai contoh peneliti akan mengungkapkan sebuah kasus plagiarisme yang menimpa X, seorang jaksa yang pernah dicalonkan sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa tahun silam. Ia diduga melakukan tindakan plagiarisme dalam menyusun disertasi doktoralnya. Perkara tersebut terungkap ketika pada uji kelayakan dan kepatutan (fit and property test) komisi III DPR mencurigai bahwa X telah melakukan tindakan plagiarisme lantaran menyelesaikan disertasinya hanya dalam waktu setahun. Wila Chandrawila anggota komisi III DPR waktu itu yang juga guru besar Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahiyangan menyatakan, bercermin dari pengalamannya selama tiga puluh tahun membimbing disertasi para mahasiwa, mengungkapkan tidak pernah ada calon doktor yang mampu menyelesaikan disertasinya dalam tempo setahun.

Untuk mengatasi meluasnya permasalahan plagiarisme di dunia akademik maupun institusi pemerintahan di Indonesia tersebut, maka pemerintah sebenarnya telah membuat peraturan menyangkut sanksi bagi pelaku tindakan plagiarisme. Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa sanksi atas tindakan plagiarisme dalam persoalan karya tulis sebagai berikut. Lulusan PT yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi, terbukti merupakan jiplakan, dicabut gelarnya (pasal 25 ayat 2). Lulusan yang tersebut pada pasal 25 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun, dan atau pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). (Yasasan Rumah Ilmu Indonesia.E-Journal 2010).

Maka menurut peneliti perlu diadakan kajian-kajian lanjutan tentang isu-isu sentral seputar perilaku plagiarisme seperti apakah bentuk-bentuk tindakan plagiarisme yang marak dilakukan oleh mahasiswa? Apakah faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku plagiarisme tersebut?. Kajian-kajian dalam konteks dan isu yang berbeda juga perlu dilakukan sehingga dapat memperluas wawasan masyarakat luas kususnya kalangan akademik seperti mahasiswa, dosen dan guru tentang plagiarisme. Penelitian ini juga peneliti anggap begitu penting karena belum ada satupun kajian yang dilakukan oleh dosen maupun mahasiswa di IAIN Imam Bonjol Padang yang membicarakan plagiarisme.

 3. Literatur Review

Para peneliti terdahulu seperti (Davis 1993; Fishbein 1993; Bowers 1994) menyatakan bahwa, tingginya angka tindakan plagiarisme yang terjadi di dunia akademik akhir-akhir ini merupakan sebuah bukti bahwa kaum intelektual seperti mahasiswa, dosen, guru, professional tidak lagi menjunjung tinggi asas-asas kejujuran dan etika dalam menghasilkan karya ilmiah sendiri. Jika diamati tindakan tersebut tentu sudah jauh dari nilai-nilai akademik karena telah merusak etika mencari kebenaran melalui ilmu. Temuan penelitian di atas diperkuat oleh pernyataan Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh yang menyatakan bahwa, tingginya angka tindakan plagiarisme menunjukkan lemahnya pendidikan karakter, budaya, dan moral insan di dunia akademik (Rachmad 2010).

Tindakan plagiarisme tidak hanya melanda kawasan dunia akademik di Asia dan kususnya Indonesia, namun juga telah melanda akademik di kawasan Amerika dan Eropa. Di Eropa penelitian tentang tindakan plagiarisme juga telah banyak dikaji oleh kalangan pakar pendidikan maupun ahli penelitian. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh (Ashworth & Bannister 1997) dengan judul Guilty in whose Eyes? University Students’ Perceptions of Cheating and Plagiarism in Academic Work and Assessment. Studies in Higher Education di Inggris. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa para mahasiswa di kampus tersebut kurang mempunyai informasi yang lengkap tentang apakah bentuk-bentuk tindakan yang dianggap sebagai plagiarisme. Perkara tersebut menyebabkan tindakan plagiarisme begitu bebas di kalangan mahasiswa ketika menyelesaikan tulisan-tulisan ilmiah pada perkuliahan.

Hasil penelitian di atas memperkuat dapatan kajian sebelumnya yang juga pernah dijalankan di dunia pendidikan Amerika oleh (Sierles 1988; Jendrek 1992; Pavela 1993; McCabe & Bowers 1994) mereka menyimpulkan bahwa 30% dari keseluruhan responden penelitian yang terdiri dari kalangan mahasiswa telah melakukan tindakan plagiarisme dalam membuat tugas-tugas perkuliahan mereka. Dan 70% lainnya pernah melakukan tindakan plagiarisme dalam bentuk yang bervariasi seperti, mengambil karya orang lain, mengambil ide pokok pikiran orang lain yang kemudian dijadikan hasil pemikiran sendiri dan mengambil tulisan orang tanpa mencantumkan sumbernya.

Hawley (1984) dengan judul Plagiarism in the University System. Improving College and University Teaching, kajian dilakukan kepada 425 orang mahasiswa. Beliau menyimpulkan 40% mahasiswa tersebut telah menggunakan iklan layanan penyediaan untuk memenuhi keperluan kuliah mereka. 12% mahasiswa pernah meminta bantuan mahasiswa lain untuk menyiapkan tugas mereka dan 21% mahasiswa mengaku telah mengantarkan tugas yang telah diselesaikan oleh oleh kawan mereka. Maka bila merujuk kepada hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu yang dimulai tahun 1984 hingga 1997 di atas secara keseluruhan dapat peneliti simpulkan bahwa, perilaku plagiarisme secara jelas setidaknya telah menjadi budaya dalam dunia akademik oleh mahasiswa. Hal tersebut dapat dilihat melalui tingginya angka statistik perilaku plagiarisme dikalangan mahasiswa dari beberapa penelitian terdahulu.

4. Tujuan Penelitian

Secara umunya penelitian ini bertujuan untuk (i) mengetahui apakah bentuk-bentuk tindakan plagiarisme yang dilakukan oleh mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan, (ii) apakah faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku plagiarisme di kalangan mahasiswa.

4.1 Objektif Penelitian

  1. Bagaimanakah bentuk-bentuk perilaku plagiarisme yang dilakukan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan?
  2. Apakah faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku plagiarisme dikalangan mahasiswa.

5. Metodelogi Penelitian

5.1.Reka Bentuk Penelitian

Reka bentuk penelitian merupakan sebuah tatacara mengumpul dan mengolah data berdasarkan perancangan kusus dan sistematik yang melibatkan seluruh variabel-variabel yang terlibat dalam sebuah penelitian (Chua 2006). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan kajian kes (case study research design). Menurut (Yin 1994) metode ini tepat digunakan apabila seorang peneliti ingin membuat penelitian terhadap unit sosial yang kecil, seperti individu, satu keluarga, sebuah perkampungan, organisasi atau sebuah sekolah. Menurut beberapa pakar penelitian kualitatif seperti (Denzin & Lincoln 1994; Bungin 2003) bahwa metode kualititatif dengan pendekatan kajian kes akan dapat membantu peneliti memahami permasalahan yang lebih kompleks dalam konteks yang lebih luas, walaupun unit yang terlibat dalam kajian kes agak kecil tetapi informasi yang diperolehi sangat mendalam. Adapun data penelitian dikumpulkan sepenuhnya melalui hasil wawancara mendalam dengan semua responden yang terlibat.

5.2. Responden Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti telah memilih sepuluh orang mahasiswa sebagai responden penelitian yang terdiri dari enam mahasiswa dan empat mahasiswi yang sedang belajar di Fakultas Tarbiyah IAIN-IB Padang. Adapun pemilihan responden penelitian tersebut dilakukan menggunakan teknik persampelan porpusive sampling, yaitu pemilihan responden penelitian tergantung kepada peneliti melihat responden yang ingin dipilih, adakah mereka dapat memberikan data sepenuhnya ataupun sebaliknya (Sugiyono 2005). Pendapat di atas diperkuat oleh Flick (1998) pemilihan responden untuk penelitian kualitatif adalah berdasarkan kepada keperluan data yang ingin dicari oleh peneliti. Sedangkan (Cresswel 2006) menyatakan bahwa pemilihan responden penelitian dalam sebuah kajian kualitatif tidak melihat kepada jumlah ataupun kuantitas sampel, namun yang terpenting adalah responden yang dipilih dapat memberikan data secara maksimal, sehingga data tersebut telah sampai kepada tingkat ketepuan data, (apabila responden telah memberikan data yang hampir sama).

5.3 Instrumen Penelitian

Alat penelitian ini adalah satu set protokol wawancara, yaitu panduan yang berisikan pertanyaan-pertanyaan wawancara yang diajukan ketika peneliti melakukan wawancawa kepada seluruh mahasiswa yang terlibat dalam penelitian. Pertanyan-pertanyaan wawancara tersebut peneliti buat dalam bentuk pertanyaan terbuka, yaitu peserta wawancara bebas menyatakan pendapat mereka berdasarkan soal-soal yang diberikan tanpa dibatasi. Namun demikian, pewawancara (peneliti) tetap memandu perbincangan agar tidak meluas kepada perkara-perkara yang tidak berkaitan dengan penelitian yang sedang dijalankan (Yin 1994). Agar terstrukturnya wawancara tersebut peneliti telah memilih panduan wawancara kualitatif yang dicadangkan oleh (Krueger 1994). Menurut beliau agar wawancara tersusun dengan rapi dan responden mudah memahami alur perbincangan maka peneliti penting menyusun protokol wawancara dalam beberapa bagian yaitu pertanyaan pembuka, pengenalan, transisi, kunci dan pertanyaan penutup.

5.4 Tatacara Analisis Data

Data yang telah peneliti dapatkan melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan semua responden dianalisis secara tematik. Menurut (Boyatzis 1998; Tuckeet 2005) analisis tematik adalah salah satu cara yang lebih fleksibel untuk mengidentifikasi, menganalisis dan melaporkan data yang dapat digunakan oleh seorang peneliti dalam sebuah penelitian kualitatif. Untuk mempermudah pembaca memahami hasil analisis tersebut peneliti juga menggunakan alat analisis penelitian kualitatif Nvivo 8 dengan menjadikan tema-tema tersebut menjadi sebuah sebuah model kurva. Sebelum seluruh data dimasukkan ke dalam alat analisis tersebut, seluruh hasil wawancara dengan semua responden dilakukan proses transkripsi berbentuk dialog atau verbatim. Kemudian data tersebut kembali dibaca secara berulang-ulang sampai peneliti memastikan tidak terjadi kesalahan-kesalahan transkripsi. Braun & Clarke (2012) menyatakan adalah penting bagi seorang peneliti untuk menyimak kembali data-data wawancara yang telah ditranskripsikan dengan cermat dan teliti dengan membaca secara berulang-ulang, sebelum peneliti memulai proses memasukkan data untuk menentukan tema-tema penting yang berkaitan dengan data yang hendak dicari. Selanjutnya peneliti mencari tema-tema penting dari hasil wawancara tersebut untuk diinput ke dalam alat analisis. Setelah selesai memasukkan data, proses dilanjutkan dengan analisis data dan diakhiri dengan laporan hasil kajian.

Perlu juga peneliti jelaskan bahwa Nvivo 8 merupakan sebuah alat analisis terkini dalam penelitian kualitatif yang bertujuan untuk memudahkan seorang peneliti mengorganisasikan, menganalisis dan melaporkan data-data penelitian kualitatif. Di Indonesia alat analisis ini belum banyak digunakan oleh para peneliti, karena secara umum masih banyak para peneliti yang bertahan dengan analisis tematik klasik atau secara manual.

 6. Hasil Penelitian

Pada bagian ini peneliti akan melaporkan semua hasil penelitian yang disusun berdasarkan tujuan dan objektif kajian. Sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya bahwa penelitian ini mempunyai beberapa objektif, yaitu (i) mengetahui apakah bentuk-bentuk tindakan plagiarisme yang dilakukan oleh mahasiswa dalam meyelesaikan tugas-tugas perkuliahan, (ii) apakah faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku plagiarisme dikalangan mahasiswa. Selanjutnya laporan hasil penelitian ini akan disusun berdasarkan tujuan dari penelitian sebagaimaan telah diterangkan di atas.

6.1 Bentuk-Bentuk Tindakan Plagiarisme Yang Dilakukan Mahasiswa Dalam Menyelesaikan Tugas Perkuliahan.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijalankan melalui wawancara mendalam (indepth interview) terhadap 10 orang mahasiswa pada Fakultas Tarbiyah di Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol (IAIN-IB) Padang, secara umumnya terdapat tiga tema penting yang berkaiatan dengan bentuk-bentuk tindakan plagiarisme yang sering dilakukan oleh mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas mata kuliah yang diberikan dosen dalam perkuliahan. Ketiga-tiga tema penting tersebut seperti terlihat pada tema model kurva di bawah.

Kode Keterangan Kode
M 1 Wawancara Mendalam dengan responden 1
M 2 Wawancara Mendalam dengan responden 2
M 3 Wawancara Mendalam dengan responden 3
M 4 Wawancara Mendalam dengan responden 4
M 5 Wawancara Mendalam dengan responden 5
M 6 Wawancara Mendalam dengan responden 6
M 7 Wawancara Mendalam dengan responden 7
M 8 Wawancara Mendalam dengan responden 8
M.9Wawancara Mendalam dengan responden 9
M10 Wawancara Mendalam dengan responden 10

Published in: on Desember 7, 2015 at 1:35 pm  Comments (1)  

PLAGIARISME DIKALANGAN

Published in: on Desember 7, 2015 at 12:31 pm  Tinggalkan sebuah Komentar  

European Journal of Social Sciences – Volume 9, Number 3 (2012)

TEACHER’S EVALUATION  TOWARD THE IMPACT OF USING

TARTIL METHOD IN TEACHING AL-QURAN IN

PADANG CITY OF WESTERN SUMATERA

Engkizar Bin Martias

National University of Malaysia, 43600 Bangi, Malaysia

E-Mail: hengki_zero@yahoo.co.id

Website: Engkizarquran.co.id

Tel: 6082171342649

 

ABSTRACT

This study aims to identify the teacher’s perceptions about the impact of using tartil method on learning attitudes, learning interest and learning achievements of students in teaching Al-Quran. (Exploratory sequential mixed methods designs) has been used as a method of this study. The study was carried out in two phases, the first one used case study through interview method of 8 selected teachers who have experience on teaching Al-Quran using tartil method which used as the data collection, for getting detail information from teachers. The second phase used observation of 115 teachers who also teach Al-Quran using tartil method, this phase was used to identify the teacher’s perception for using tartil method in teaching Al-Quran. Interview data from the first phase were analyzed thematically using NVivo 8 software. While the second phase data were collected using questionnaire which are developed based on the result of interview on the first phase, and analyzed using descriptive statistics from PASW Statistics Windows version 18 software. 33 themes have been emerged from the indepth-interview: twelve themes are related to learning attitudes of the students, nine themes are related to learning interest, and twelve themes are related to learning achievement of students. The survey findings show that all three aspects had scored a very good min: learning attitudes (Min= 4.32), learning interest (Min= 4.14) and learning achievement (Min= 4.10). As aconclusion, the teachers agreed that the tartil method had a positive effect on learning attitude, learning interest and learning achievements of students in the teaching and learning of Al-Quran in Padang city of Western Sumatera.

Published in: on Oktober 1, 2012 at 7:46 pm  Tinggalkan sebuah Komentar  

KONSEP PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN MEMBACA AL-QURAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM

(lebih…)

Published in: on November 5, 2011 at 7:19 am  Comments (3)  

Review serta analisis Lima buah Journal dalam Pendidikan Al-Quran

REVIEW DAN SINTESIS 5 JOURNAL

Tentang Pengajaran dan pembelajaran Membaca Al-Quran

oleh

ENGKIZAR (P51186)

FAKULTI PENDIDIKAN

UNIVERSITI KEBANGSAAN MALAYSIA

BANGI

2011

1

 

 STUDENTS’ PERCEPTION TOWARD TEACHING TILAWAH Al-QURAN

Mohd Aderi Che Noh & Rohani Ahmad Tarmizi. 2009. Jurnal Pendidikan Malaysia 34(1): 93 – 109

Kajian ini merupakan satu kajian lapangan yang mengkaji tentang persepsi pelajar Tingkatan Dua di sekolah menengah harian Malaysia. Kajian berkaitan dengan amalan pengajaran guru dalam proses pengajaran dan pembelajaran Tilawah al-Quran. Kajian ini melibatkan seramai 1651 orang responden pelajar. Sampel kajian adalah dipilih secara rawak berstrata dan berkelompok daripada seluruh Malaysia. Zon yang terlibat ialah Zon Utara yang diwakili oleh negeri Perak, Zon Selatan yang diwakili oleh negeri Melaka, Zon Timur diwakili oleh negeri Kelantan, zon Barat diwakili oleh Kuala Lumpur dan Zon Malaysia Timur diwakili oleh negeri Sarawak.

            Adapun reka bentuk kajian ialah dengan menggunakan soal selidik yang dibina oleh penyelidik. Keseluruhan item ialah 69 item yang mempunyai kesahan konstruk yang tinggi. Pelajar dikehendaki memberi respon kepada sejumlah 69 indikator yang berkaitan dengan amalan pengajaran Tilawah al-Quran berdasarkan empat komponen iaitu permulaan pengajaran, perkembangan pengajaran, penutup pengajaran dan alat bantu mengajar. Respon skala likert lima mata digunakan dalam soal selidik. Statistik deskriptif iaitu kekerapan, peratusan dan min digunakan dalam melaporkan dapatan kajian.

            Dapatan hasil kajian pada soalan pertama iaitu tentang persepsi pelajar terhadap amalan pengajaran tilawah al-Quran ialah, sebanyak 26 (1.6%) berada pada tahap rendah. Seterusnya sebanyak 1242 (75.2%) pada tahap sederhana bagi amalan pengajaran guru. Manakala hanya 383 (23.2%) mendapat skor min pada tahap tinggi. Keseluruhannya, skor min amalan pengajaran guru adalah sederhana (3.338).

            Selanjutnya dapatan kajian bagi menjawab objektif kajian kedua iaitu amalan pengajaran guru berdasarkan komponen permulaan pengajaran berdasarkan nilai peratusan. Tahap skor min keseluruhan bagi amalan pengajaran guru berdasarkan komponen permulaan pengajaran berada pada tahap sederhana iaitu 3.461. Dapatan kajian untuk objektif kajian ketiga iaitu mengenal pasti tahap amalan pengajaran Tilawah al-Quran berdasarkan komponen perkembangan pengajaran. Secara keseluruhan tahap skor min amalan pengajaran Tilawah al-Quran berada pada tahap tinggi iaitu 3.670. Seterusnya bagi mencapai objektif keempat dapatan kajian melibatkan pembolehubah amalan pengajaran guru berdasarkan komponen penutup pengajaran menunjukkan tahap min keseluruhan item ialah pada tahap min sederhana (3.271).

            Tegasnya, hasil kajian menunjukkan secara keseluruhan amalan pengajaran Tilawah al-Quran berada pada tahap sederhana (min = 3.338). Manakala tahap min amalan pengajaran berdasarkan komponen menunjukkan komponen permulaan pengajaran (min = 3.461), penutup pengajaran (min = 3.271) dan alat bantu mengajar (min = 2.709) pada tahap sederhana. Manakala komponen perkembangan pengajaran pada tahap tinggi (min = 3.670).

          Secara keseluruhan penyelidik menyimpulkan bahawa. Majoriti amalan pengajaran Tilawah al-Quran bagi guru Pendidikan Islam ialah pada tahap sederhana. Ini berdasarkan pandangan 1242 orang, iaitu 75.2% daripada keseluruhan responden murid. Manakala skor min amalan pengajaran Tilawah al-Quran pada tahap tinggi hanya seramai 383 orang iaitu 23.2% daripada responden pelajar berpandangan demikian. Seterusnya skor min pada tahap rendah pula seramai 26 orang iaitu 1.6%. Tahap skor min keseluruhan amalan pengajaran Tilawah al-Quran bagi guru Pendidikan Islam berdasarkan persepsi pelajar ialah sederhana (3.338).

Implikasi kajian ialah guru Pendidikan Islam perlu sentiasa mempertingkatkan kemahiran pengajaran Tilawah al-Quran yang mereka miliki dengan cara yang paling efektif agar murid dapat menguasai Tilawah al-Quran dengan berkesan.

2

AL-QURAN AWARENESS: REALITYAND CHALLENGES

IN ISLAMIC EDUCATION IN SCHOOLS

Mohd Faisal, Zawawi Ismail, Rahimi Mohd Saad. 2010. Journal for Islamic Educational Studies, (1) 1: 133 – 144.

Journal ini tidak berbentuk sebuah kajian, namun penulis menerangkan dengan terpirinci isu-isu semasa dalam pengajaran dan pembelajaran al-Quran, serta cabaran-cabaran yang akan dihadapi dimasa hadapan, penulis juga mengemukakan hasil-hasil kajian yang telah dilakukan penyelidik sebelumnya bagi mendukung hujah yang disampaikan. Terdapat lima isu utama yang diangkat penulis dalam tulisannya ini iaitu (i) bagaimanakah kolaborasi masyarakat dalam merealisasikan celik al-Quran, (ii) bagaimanakah masa hadapan pendidikan al-Quran, (iii) pendidikan al-Quran signifikan dan pelaksanaannya, (iv) kepentingan belajar dan mengajarkan al-Quran, (v) konsep pengajaran dan pembelajaran al-Quran.

            Penulis merumuskan jawapan terhadap isu pertama: bahawa diantara faktor-faktor penyebab masih wujudnya kelemahan membaca al-Quran di kalangan murid sehingga hari ini ialah (i) murid kurang minat untuk belajar mata pelajaran al-Quran, (ii) tidak adanya penekanan dari pihak sekolah sehingga murid ramai tidak datang pada masa pengajaran dan pembelajaran, (iii) kurangnya peranan ibu bapa dalam mendorong anak untuk belajar al-Quran sama ada di sekolah apatah lagi di rumah. Perkara di atas bertepatan dengan kajian Rosmawati Umar 1993; Mohd Yusuf Ahmad 1997; Fatimah Sudin 2003;) melaporkan masih wujudnya sebahagian murid masih buta baca tulis al-Quran disebabkan kerana mereka tidak didedahkan pembelajaran tilawah al-Quran semasa kecil.

            Bagi menjawap soalan isu kedua penulis merumuskan: Matlamat Pendidikan al-Quran dengan jelasnya membuktikan bahawa ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya mampu memberi kejayaan dalam pelbagai penyelidikan. Ahli sains mengambil al-Quran sebagai asas sains, ahli hukum mengeluarkan hukum daripada al-Quran, ahli falsafah membicarakan falsafah dalam al-Quran dan ahli pendidikan pula mengambil al-Quran sebagai dasar, kaedah, falsafah dan matlamat pendidikan. Oleh itu pendidikan al-Quran mestilah dijadikan teras dan sumber rujukan utama yang mendasari pelbagai aspek kehidupan yang mampu membawa kajayaan terhadap kamajuan tamadun manusia.

            Selanjutnya penulis menjelaskan bagi menjawap isu ketiga: Walaupun pelaksanaan KBSR dan KBSM telah ditubuhkan pada tahun 1994, namun dalam pelaksanaan program tersebut masih perlu dipertingkatkan lagi sama ada dari aspek pedagogi guru, pemilihan kaedah pengajaran dan pembelajaran, serta sokongan daripada pihak kerajaan. Dari aspek pencapaian kita boleh berbangga dengan apa yang telah dilakukan sehingga membawa kesan yang baik terhadap usaha celik al-Quran dikalangan murid, ini disokong oleh kajian (Mohd Alwi et al. 2003; Naim 2003; & Daud 2005) melaporkan hasil pencapaian murid dalam membaca al-Quran menggunakan kaedah Iqra pada umumnya memberi kesan baik dalam Tilawah al-Quran.

            Untuk rumusan isu yang keempat penulis menjelaskan: Kepentingan mempelajari serta mengajarkan al-Quran suatu perkara yang tidak dapat dipertikaikan lagi. Kerana al-Quran merupakan sumber asas dalam pembinaan manusia. Ini selaras dengan apa yang telah dinyatakan oleh Rasulullah S.A.W melalui hadisnya yang bermaksud: “Orang yang paling baik lagi mulia disisi Allah S.W.T diantara kamu semua ialah orang yang belajar al-Quran kemudian ia mengajarkannya kepada orang lain”. Tegasnya matlamat terpenting pendidikan al-Quran ialah mendidik manusia supaya mengabdikan diri kepada Allah S.W.T sebagai seorang individu yang boleh berjaya ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Manakala bagi seorang muslim mewariskan al-Quran kepada generasi selanjutnya merupakan tugas dan tanggung jawab. Serta mempelajari serta mampu mengajarkan bagi seorang yang mempunyai ilmu dibidang pendidikan al-Quran merupakan amalan pekerjaan yang terpuji lagi mulia.

Selanjutnya pada isu yang kelima penulis menerangkan: Memandangkan pengajaran dan pembelajaran membaca al-Quran melibatkan pengajaran kemahiran, maka mengajar kemahiran perlu menekankan kepada arahan, demonstrasi dan pembaikan kesilapan murid. Disamping itu juga, dalam usaha untuk mewujudkan pengajaran dan pembelajaran berkesan, guru perlu menguasai isi kandungan mata pelajaran dan peka terhadap gaya pembelajaran murid serta strategi pengajaran dan pembelajaran. Oleh itu konsep pengajaran membaca al-Quran yang berkesan ialah melibatkan peranan guru Pendidikan Islam sebagai murabbi, muallim, muaddib, murshid dan mudarris. Berdasarkan peranan ini, guru bukan sahaja bertanggungjawab untuk menyampaikan ilmu dan pelajaran al-Quran semata-mata, malah untuk membentuk pelajar sebagai persediaan kepada kehidupan seterusnya.

3

KEUPAYAAN BACAAN AL-QUR’AN DI KALANGAN PELAJAR TINGKATAN EMPAT:

KAJIAN DI BEBERAPA BUAH SEKOLAH MENENGAH TERPILIH

DI NEGERI TERENGGANU

 

Mohd Yakub @ Zulkifli bin Haji Mohd Yusoff  & Saidi bin Mohd.  2008. Al-Bayan.   Journal of Al-Quran & al-Hadith 1 (6): 1394-3723

Kajian ini dijalankan di Negeri Terengganu yang melibatkan kawasan bandar dan luar bandar. Sekolah-Sekolah yang terlibat dalam kajian ini hanyalah Sekolah Menengah Kebangsaan (SMK) sahaja tidak termasuk Sekolah Menengah Kebangsaan Agama (SMKA), Sekolah Menengah Sains dan Sekolah Menengah Teknik. Sebanyak empat buah sekolah bandar dan empat buah sekolah luar bandar dipilih dalam kajian ini. Subjek kajian melibatkan pelajar melayu Islam dari aliran sains dan sastera yang datang dari pelbagai tahap sosio-ekonomi. Tujuan kajian ini dibuat ialah untuk meninjau tahap keupayaan bacaan al-Qur’an mereka berdasarkan sukatan pelajaran tilawah al-Qur’an tingkatan empat.

            Metodologi kajian ini menggunakan reka bentuk tinjauan. Responden kajian dipilih secara purposif terdiri daripada 320 orang pelajar tingkatan empat lelaki dan perempuan dari aliran sastera dan sains yang datang dari pelbagai tahap sosio-ekonomi yang belajar di sekolah menengah bandar danluar bandar. Data dikumpul dengan menggunakan soal selidik, ujian bertulis dan ujian lisan bacaan al-Qur’an. Data yang dipungut dianalisis dengan menggunakan package SPSS versi 11.5 bagi mendapatkan keputusan keseluruhan prestasi bacaan al-Qur’an responden dan mengenal pasti sama ada terdapat atau tidak perbezaan dan hubungan yang signifikan antara pemboleh ubah bersandar dengan pemboleh ubah tidak bersandar.

            Disamping itu, kajian juga menggunakan dua bentuk analisis data iaitu analisis statistik deskriptif dan analisa statistik inferensi. Analisis statistic deskriptif digunakan untuk menganalisa pencapaian pelajar yang melibatkan pengiraan kekerapan, peratus, purata (min), median, mod, skor minimum, skor maksimum, julat, dan sebagainya berdasarkan hasil ujian. Analisis bentuk kedua ialah analisis inferensi. Fungsi utama statistik inferensi ialah untuk membuat satu anggaran tentang satu indeks populasi dengan menggunakan satu indeks statistik daripada satu sampel yang representatif. Dengan menggunakan indeks statistic daripada sampel tersebut kesimpulan boleh dibuat tentang sifat sesuatu populasi. Ia melibatkan pengiraan ujian-t, Anova, korelasi dan pengujian hipotesis.

            Dapatan kajian berdasarkan analisis keseluruhan yang telah dijalankan, didapati tahap bacaan al-Qur’an di kalangan pelajar yang dikaji tidaklah berada pada tahap yang terlalu lemah. Walau bagaimanapun, kelemahan dan ketidakupayaan sebilangan pelajar untuk membaca al-Qur’an dengan baik dan lancar sebenarnya memang wujud. Pengiraan statistik deskriptif menunjukkan bahawa skor min bagi keseluruhan 320 orang pelajar yang terlibat dalam kajian ini ialah 52.9 dengan sisihan piawainya ialah 42.0. Nilai ini menunjukkan bahawa secara keseluruhan responden yang terlibat dalam kajian ini mempunyai tahap bacaan yang memuaskan

            Walau bagaimanpun, menurut penyelidik secara keseluruhan dapatan kajian memperlihatkan masalah dan kelemahan pelajar dalam bacaan al-Qur’an masih wujud. Kajian menunjukkan masih terdapat pelajar yang gagal dalam ujian bacaan al-Qur’an yang dijalankan dan tidak kurang juga yang mencapai tahap cemerlang. Walaupun pada keseluruhannya peratus kelulusan yang diperolehi agak besar namun kualiti bacaan berdasarkan hukum-hukum bacaan yang ditetapkan masih tidak dapat dibanggakan.

            Perkara sedemikian dapat dilihat melalui pengiraan statistik menunjukkan bahawa daripada 320 orang pelajar yang terlibat dalam kajian ini, seramai 171 orang pelajar (53.4 %) mencapai tahap cemerlang, 25 orang pelajar (7.8%) mencapai tahap baik, 2 orang pelajar (0.6%) mencapai tahap lemah dan 122 orang pelajar (38.1%) berada pada tahap yang mengecewakan dan gagal iaitu sangat lemah. Tahap yang sangat lemah ini sebenarnya daripada segi bacaan al-Qur’an menggambarkan ketidakmampuan pelajar membaca al-Qur’an keseluruhannya atau dengan bahasa yang mudah ialah “buta al-Qur’an”. Ini bermakna masalah dan kelemahan yang dihadapi oleh pelajar dalam aspek bacaan al-Qur’an masih berterusan. Jumlah yang besar (38.7%) dikalangan pelajar yang tidak berkemampuan membaca al-Qur’an ini seolah-olah menunjukkan tidak ada perubahan selama ini pada tahap bacaan al-Qur’an di kalangan pelajar walau pun pada hakikatnya pelbagai usaha telah dijalankan untuk mengatasi masalah tersebut.

            Selanjutnya pada akhir sekali penyelidik menyatakan bahawa, kita tidak boleh berbangga dengan tahap pencapaian 61.2 % pelajar yang lulus dalam ujian lisan itu. Walaupun pada zahirnya peratus itu agak tinggi (lebih dari separuh) namun pada hakikatnya jika dilihat dari segi mutu bacaan pelajar ini tidaklah begitu memuaskan. Hasil penemuan menunjukkan bahawa mutu pencapaian bacaan pelajar berdasarkan aspek hukum-hukum bacaan yang ditetapkan di dalam kajian ini hanyalah berada pada tahap memuaskan. Ini bermakna tidak ada pelajar yang mencapai tahap cemerlang atau tahap baik dalam semua aspek hukum-hukum bacaan yang dikaji tetapi sebaliknya hanya pada tahap sederhana sahaja.

4

KEBERKESANAN METOD IQRA SEBAGAI

KAEDAH PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN MEMBACA Al-QURAN

Mohd Alwi Yusoff, Adel Mohd Abdulaziz & Ahmad kamel Mohamed. 2010. Journal  Studi Al-Quran and Islamic Educations 3 (2): 51-66

Kajian ini dijalankan di 27 buah sekolah di beberapa buah negeri di bawah Kementerian Pendidikan Malaysia dan 6 buah sekolah agama swasta. Secara amnya tujuan kajian adalah untuk melihat keberkesanan metod Iqra sebagai kaedah pengajaran dan pembelajaran membaca al-Quran di sekolah-sekolah tersebut. Manakala tujuan utama penyelidik membuat kajian ialah, kaedah Iqra telah lama digunakan guru-guru pendidikan Islam dalam proses pengajaran dan pembelajaran membaca al-Quran, akan tetapi belum terdapat satu kajian yang dijalankan untuk melihat bagaimana kesan metod Iqra terhadap murid dalam membaca al-Quran.

            Metodologi dalam kajian ini diawali dengan kualitatif, penyelidik melakukan lawatan ke sekolah-sekolah berkenaan, kemudian diikuti dengan temu ramah serta dengan guru besar serta guru-guru pendidikan Islam khususnya mereka yang mengajar mata pelajaran Tilawah al-Quran. Selanjutnya dapatan kajian dikumpulkan melalui soal selidik yang dijawab oleh para penyelia, guru, pakar dan murid. Perkara menurut penyelidik agar dapat memperolehi data yang lebih kukuh dan valid.

            Dapatan kajian pada fasa pertama menyimpulkan bahawa, metod Iqra dapat dijadikan sesebuah kaedah alternatif bagi guru dalam pengajaran dan pembelajaran membaca al-Quran serta boleh menghantarkan murid mahir dalam membaca al-Quran, namun hasil dapatan kajian kualitaif melalui temu bual dengan guru ditemukan guru masih menemukan kesulitan-kesulitan dalam proses pembelajaran yang terdapat kaedah tersebut diantaranya:

  1. Tidak ada buku paduan khusus cara pengajaran dan pembelajaran yang sedia ada didalam buku kaedah Iqra.
  2. Tidak ada kursus insentif berterusan bagi guru-guru.
  3. Naskah buku Iqra tidak mempunyai tarikan-tarikan tertentu, seperti warna-warni.
  4. Kurangnya aktifiti sampingan dalam pengajaran dan pembelajaran

            Disamping itu, masalah lain yang timbul ialah guru-guru kurang mengikuti arahan-arahan yang telah ditetapkan dalam buku pengajaran. Pengiraan statistik menunjukkan 29% sahaja dari guru-guru di sekolah yang dilawati di negeri-negeri, mempunyai rancangan harian terutama yang membabitkan pengajaran Iqra dalam bilik darjah.  Manakala pada aspek pelatihan didapati 35% sahaja guru-guru yang ditemui, pernah menerima latihan dan menghadiri kursus dalam melaksanakan cara pengajaran kaedah Iqra. Sebahagian besar guru tidak pernah mengikuti kursus.

            Dapatan kajian pada fasa kedua melalui soal selidik guru dan murid menunjukkan bahawa, metod Iqra secara keseluruhan memberi kesan baik terhadap pencapaian pengajaran dan pembelajaran al-Quran di sekolah-sekolah kebangsaan di Malaysia dan ianya juga dianggap sebagai sebagai satu kaedah alternatif yang boleh menghantarkan murid boleh mahir dalam membaca al-Quran. Walaupun terdapat beberapa kelemahan dari aspek pelaksanaannya dalam proses pengajaran dan pembelajaran guru, yang mana kalau dapat diatasi, maka ia boleh meningkatkan lagi keberkesanannya.

5

UPAYA PENINGKATAN KEMAMPUAN BACA TULIS AL-QURAN PELAJAR 

MENGGUNAKAN METOD IQRO PADA MATA PELAJARAN

AL-QURAN HADITH

(Studi Terhadap Sekolah Menengah di Jawa Timur Indonesia)

 Rendi Abdulrohman. 2010.  International Journal for Islamic Educational Studies (1) 1: 25-34

Kajian dijalankan di sekolah Islamiyah Geluran Taman Sidoarjo, Jawa Timur Indonesia. Responden kajian ini melibatkan seramai 50 orang pelajar tingkatan Dua sekolah Islamiyah Sidoarjo yang terdiri dari 20 orang pelajar laki-laki dan 30 orang pelajar perempuan. Rekabentuk kajian yang digunakan iaitu, Kajian Tindakan (Action Research) atau di Indonesia lazimnya digunakan dengan istilah Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research).  Adapun pendekatan yang digunakan oleh penyelidik dalam kajian ini mengikut model Spiral yang dikembangakn oleh Kemmis. Pada mulanya model tersebut sudah diperkenalkan oleh Kurt Lewin pada tahun 1946 seorang ahli psikologi sosial, walaupun pada masa perkembangannya model tersebut berkembang di Eropah, Australia dan USA, namun pada tahun 90an model penyelidikan ini juga telah digunakan oleh para penyelidik dan ahli pendidikan di kawasan asia khususnya di Indonesia.

            Kajian tindakan merupakan suatu kajian yang berbentuk inkuiri refleksi kendiri yang dilakukan oleh peserta dalam situasi sosial itu sendiri seperti pengamal, guru, sebagai penyelidik melalui tindakan praktik (intervensi) mereka sendiri yang bertujuan untuk membaiki atau meningkatkan kualiti amalan masing-masing, disamping meningkatkan kefahaman mereka tentang amalan itu serta situasi di mana amalan itu dilakukan. Seseorang penyelidik juga perlu melakukan langkah-langkah yang melibatkan proses  merancang, melaksana, memerhati dan mereflek.

     Prosedur penyelidikan dirancang dalam dua gelung yang meliputi proses  merancang, melaksana, memerhati dan mereflek, pada tia-tiap gelung diadakan evaluasi yang bertujuan untuk penambahbaikan strategi pengajaran dan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Manakala instrument kajian yang digunakan adalah hasil daripada ujian post test keseluruhan pelajar pada setiap gelung yang telah dilaksanakan. Untuk mendapatkan data yang lebih kukuh penyelidik juga menggunakan instrument tes formatif, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), lembaran kertas observasi guru dan pelajar selama berlansungnya kegiatan pengajaran dan pembelajaran.

            Dapatan kajian pada gelung pertama menyimpulkan bahawa, secara keseluruhan berdasarkan hasil tes formatif yang dilakukan terhadap keseluruhan pelajar dalam upaya meningkatkan kemampuan membaca al-Quran menggunakan kaedah biasa ialah 62% sahaja. Perkara ini bermakna pengajaran dan pembelajaran belum lagi mencapai tahap yang dinginkan, dapatan kajian juga menyimpulkan bahwa terjadinya senario di atas disebabkan oleh (i) kaedah yang digunakan tidak dapat menarik minat pelajar, (ii) guru tidak efektif dalam menggunakan masa yang telah disediakan, (iii) pelajar kurang dapat memahami materi mahupun arahan-arahan guru dalam pengajaran dan pembelajaran membaca al-Quran.

            Untuk memperbaiki hasil pembelajaran pada gelung kedua perlu dibuat perancangan yang lebih baik agar mendapatkan hasil pengajaran dan pembelajaran yang lebih berkualiti. Aktifiti yang dilakukan pada gelu kedua kurang lebih sama dengan yang pertama iaitu meliputi proses merancang, melaksana, memerhati dan mereflek.

            Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan melalui hasil tes terhadap semua pelajar, dapatan kajian merumuskan. Bahawa terdapat perubahan yang signifikan dalam proses pengajaran dan pembelajaran yang dilakuakan guru yang mencecah angka sampai pada tahap 92%. Perkara menunjukkan adanya perubahan hasil daripada gelung pertama yang semula 62% meningkat menjadi 92%. Kajian juga menyimpulkan pelajar juga lebih mudah mengerti dan merasa seronok dengan arahan-arahan yang diberikan guru dalam pengajaran dan pembelajaran menggunakan metod Iqra.

Sebagai kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis kajian yang telah dilakukan penyelidik menyatakan pengajaran dan pembelajaran al-Quran hadith menggunanakan metod Iqra dapat meningkatkan kemampuan pelajar dalam membaca al-Quran, disamping itu, kaedah ini juga dapat meningkatkan kreatifitas pelajar dalam aktifiti pembelajaran dalam bilik darjah. Perkara di atas dapat dibuktikan apabila pelajar diajar menggunakan metod biasa berdasarkan statistik pada gelung pertama kemampuan pelajar hanya berada pada tahap sederhana (62%). Manakala apabila mereka diajar dengan menggunakan metod Iqra analisis statistik menujukkan kemampuan siswa dapat meningkat mencepai tahap cemerlang (92%).

SINTESIS LITERATUR

Pengajaran dan pembelajaran yang berkesan berfungsi untuk menghasilkan pembelajaran yang efektif dalam bilik darjah (Al-Syaibani 1991; Atan Long 1993; Ahmad Mohd Salleh 1997; Mohd Yusuf Ahmad 2000 dan Mok Soon Sang 2000). Murid hendaklah dilibatkan secara aktif dalam proses pengajaran dan pembelajaran (al-Hashimi 1994 dan Rohizani et al. 2005) dan pengajaran guru juga hendaklah dirancang di samping memberi pertimbangan kepada kepelbagaian murid (Ahmad Mohd Salleh 1997; Mohd Yusuf Ahmad 2000 dan Mok Soon Sang 2000). Apatah lagi dalam pengajaran dan pembelajaran membaca al-Quran, ia mempunyai ciri tersendiri berbanding dengan setiap komponen mata pelajaran Pendidikan Islam.

            Secara amnya, semua journal yang telah diterangkan di atas sama ada berbentuk kajian mahupun dalam bentuk kertas konsep yang memaparkan idea, konsep serta hujah-hujah yang didukung oleh hasil kajian-kajian semasa. secara keseluruhan mengemukakan tiga idea utama yang berkaitrapat dengan proses pengajaran dan pembelajaran al-Quran iaitu (i) strategi guru dalam mempelbagaikan pengajaran dan pembelajaran, (ii) penggunaan kaedah yang tepat bagi menghantarkan pembelajaran berkesan, (iii) serta sikap murid terhadap mata pelajaran tilawah al-Quran.

Oleh itu, memandangkan pengajaran dan pembelajaran membaca al-Quran melibatkan pengajaran kemahiran, maka berdasarkan Rohizani et al. (2005), mengajar kemahiran perlu menekankan kepada arahan, demonstrasi dan pembaikan kesilapan murid. Disamping itu juga, dalam usaha untuk mewujudkan pengajaran dan pembelajaran berkesan, guru perlu menguasai isi kandungan mata pelajaran dan peka terhadap gaya pembelajaran murid serta strategi pengajaran dan pembelajaran (Shulman 1987).

Merujuk kepada amalan pengajaran membaca al-Quran yang berkesan, maka guru juga perlu jelas dari segi strategi, pendekatan, kaedah dan teknik yang digunakan semasa mengajar Tilawah al-Quran. Menurut Abdul Raof (1993) gabungan pelbagai aktiviti pengajaran yang melibatkan strategi, pendekatan, kaedah dan teknik akan membawa kepada pengajaran yang berkesan.

Berkaitan strategi pengajaran, menurut Ibnu Khaldun (2000), guru hendaklah memastikan setiap isi pengajaran dan masalah yang timbul semasa proses pengajaran dan pembelajaran diselesaikan dahulu sebelum berpindah ke topik lain. Oleh itu dalam pengajaran membaca al-Quran, guru hendaklah memastikan para murid benar-benar dapat menguasai isi pelajaran yang diterangkan oleh guru, agar para murid tidak berterusan gagal menguasai kemahiran bacaan al-Quran dengan sepenuhnya. Setelah guru yakin murid telah berjaya menguasai kemahiran bacaan al-Quran yang diajar, barulah guru berpindah ke tajuk pengajaran yang seterusnya.

Manakala pendekatan yang digunakan untuk mengajar adalah pelbagai, misalnya daripada konkrit kepada abstrak, daripada mudah kepada kompleks, daripada keseluruhan kepada bahagian, daripada umum kepada khusus, daripada spesifik kepada umum, daripada dekat kepada jauh dan daripada diketahui kepada belum diketahui. Kesesuaian pendekatan pengajaran berkait rapat dengan jenis murid dan jenis pengajaran guru (Ahmad MohdSalleh 1997; dan Sulaiman Ngah Razali 1997). Oleh itu untuk amalan pengajaran membaca al-Quran yang berkesan, guru hendaklah memilih pendekatan yang sesuai. Hal ini kerana tidak ada satu pendekatan yang dianggap terbaik untuk satu-satu mata pelajaran bagi semua pelajar dalam semua keadaan. Antara pendekatan dalam pengajaran membaca al-Quran ialah pendekatan induktif, di mana para guru mengemukakan contoh bacaan al-Quran mengikut sesuatu hukum tajwid dan seterusnya para murid mengaplikasikan contoh bacaan guru dalam bacaan al-Quran yang dibaca.

Berkaitan kaedah pengajaran dan pembelajaran, menurut (Mohd Yusuf 2000; Ahmad 1997; Hasan 1981) berpendapat kaedah ialah satu siri tindakan yang sistematik yang bertujuan untuk mencapai objektif pelajaran dengan langkah dan penyampaian yang tersusun. Antara kaedah yang digunakan semasa pengajaran baca tulis al-Quran ialah talaqi dan musyafahah. Tegasnya, apa saja cara yang guru lakukan untuk memberi faham kepada murid bagi mencapai objektif pengajaran al-Quran, maka ia adalah kaedah.

Ishak (1985) dan Abdul Qadir (1998) mengemukakan berkaitan kaedah pengajaran bacaan al-Quran yang berkesan iaitu berdasarkan empat kaedah. Pertamanya ialah at-Tahqiq, iaitu bacaan yang tenang dan tidak tergopoh-gapah yang bertujuan untuk mengajar dan menghayati kandungan dan hukum-hukum bacaan al-Quran. Kedua, at-Tartil iaitu bacaan yang tenang dan tidak tergopoh-gapah dan bukan untuk tujuan mengajar. Ia dilakukan untuk menghayati kandungan al-Quran. Ketiga, at-Tadwir iaitu bacaan yang sederhana dan tidak terlalu cepat serta mengawasi hukum tajwid. Keempat, bacaan al-Hadar iaitu bacaan cepat serta mengawasi segala hukum tajwid. Walau bagaimanapun kaedah pengajaran bacaan al-Quran hendaklah memberi penekanan kepada kesalahan bacaan al-Quran (Abdul Qadir Leong 1998) yang terdiri dari kesalahan lahnu jali dan lahnu khafi.

Manakala teknik menurut Ahmad (1997) ialah kemahiran dan perlakuan guru dalam pengelolaan dan pelaksanaan kaedah mengajar dalam sesuatu aktiviti pengajaran dan pembelajaran. Ia adalah unit-unit kecil yang terkandung dalam sesuatu kaedah. Contohnya teknik dalam pengajaran guru ialah teknik tunjuk cara, teknik menghafal dan latih tubi, teknik bersoal jawab dan teknik bersyarah. Dengan pelbagai teknik pengajaran ini, guru dapat menggunakannya dalam pengajaran membaca al-Quran. Oleh itu, guru hendaklah mengambil kira teknik pengajaran yang sesuai agar wujudnya pengajaran berkesan dan pembelajaran berkualiti. Manakala Azman (1987) mengatakan teknik ialah apa yang dilihat dalam bilik darjah. Sekiranya guru mengajar Bahasa dengan menggunakan alat-alat komunikasi yang canggih dalam makmal bahasa, maka ia satu teknik. Begitu juga sekiranya seorang guru mengajar membaca al-Quran dengan menggunakan perisian komputer untuk memperdengarkan bacaan, maka ia dikatakan teknik.

Amalan pengajaran membaca al-Quran yang berkesan juga dikaitkan dengan sifat kreatif guru yang mana bukan sahaja setakat merancang pengajaran, bahkan juga meliputi kreatif semasa proses pengajaran. Amalan ini penting kerana ia akan menentukan daya tarikan minat murid untuk menumpukan perhatian dalam pembelajaran. Ngalim (1990) berpendapat bahawa punca pelajar hilang tumpuan semasa belajar ialah disebabkan oleh cara guru menerangkan dan menggunakan bahan pengajaran yang membosankan. Oleh itu, usaha harus dilakukan agar suasana amalan pengajaran yang kreatif dapat diwujudkan semasa proses pengajaran dan pembelajaran berlaku dalam bilik darjah. Amalan pengajaran membaca al-Quran yang berkesan juga berkait rapat dengan sifat dan ciri-ciri yang dimiliki oleh seorang guru. Al-Nahlawi (1988) menyenaraikan sifat-sifat dan ciri-ciri guru berteraskan ajaran Islam, iaitu pertama, hendaklah segala tujuan, tingkah laku dan pemikirannya bersifat Rabbani, iaitu sentiasa didasari dengan tuntutan Islam. Kedua, seorang yang ikhlas, iaitu segala usaha yang dilakukan adalah bertujuan untuk mendapat keredaan Allah. Ketiga, sentiasa bersabar dalam melaksanakan tanggungjawab jawatan dan tugasnya. Keempat, hendaklah jujur dengan apa yang disampaikan. Antara tanda sifat kejujuran itu ialah guru melaksanakan apa yang diajar. Seterusnya yang kelima, guru hendaklah sentiasa berusaha menambah ilmu pengetahuan yang berkaitan serta berbincang mengenainya.

Kesimpulannya. Keseluruhan journal yang telah diterangkan mempunyai  hubungkait dengan kajian yang sedang penulis jalankan diantaranya ialah (i) menggambarkan aspek-aspek kelemahan yang dimiliki oleh guru pendidikan Islam dalam pengajaran Tilawah al-Quran, (ii) Menyempurnakan kelemahan-kelemahan tersebut dengan mencari solusi yang tepat agar dapat menarik minat murid dalam pembelajaran Tilawah al-Quran, (iii) Menambah bacaan serta wawasan penulis tentang pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran al-Quran yang telah dijalankan melalui kajian-kajian terdahulu. Serta isu, cabaran-cabaran semasa yang dihadapi para pendidik, orang tua mahupun pelajar itu sendiri, (iv) Memberikan gambaran perkembangan strategi pengajaran dan pembelajaran al-Quran semasa yang dijelaskan oleh para pakar untuk meningkatkan teknik dan kepentingan belajar dan mengajarkan al-Quran di masa hadapan.

Rujukan

Abdul Qadir Leong. 1998. Tajwid al-Quran rasm ’uthmani. Kuala Lumpur: Pustaka Salam.

Abdul Raof Dalip. 1998. Teknik pengajaran dan pembelajaran agama Islam di sekolah menengah. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.

Ahmad Mohd Salleh. 1997. Pendidikan Islam: Falsafah, pedagogi dan metodologi. Shah Alam: Fajar Bakti Sdn. Bhd.

Al-Nahlawi, Abdul Rahman. 1988. Usul al-tarbiyah al-Islamiyah wa asalibuha. Damsyik: Dar al-Fikr

Azman Wan Chik. 1986. Kaedah hayati amali: satu pendekatan mengajar Pendidikan Islam. Kuala Lumpur: Karya Bistari.

Hassan Langgulung. 1981. Beberapa tinjauan dalam pendidikan Islam. Kuala Lumpur: Pustaka Aman.

Ishak Abbas. 1985. Memahami tajwid dan tartil al-Quran. Kuala Lumpur: Sri Kota. Jabatan Pendidikan Negeri Sarawak. 2000. Laporan status kadar celik al- Quran sekolah-sekolah kebangsaan Negeri Sarawak.

Ibn Khaldun. 2000. Muqadimah Ibn Khaldun. Terj. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Mok Soon Sang. 2000. Pendidikan di Malaysia. Kuala Lumpur. Kumpulan Budiman Sdn.Bhd

Ngalim Purwanto. 1990. Psikologi pendidikan. Bandung: Rosdakarya.

Rohizani Yaakub, Shahabudin Hashim & Mohd Zohir Ahmad. 2005. Pedagogi:     Strategi dan teknik mengajar dengan berkesan. Bentong: PTS Publications &        Distributors Sdn. Bhd.

Shulman, L. S. 1987. Knowledge and teaching: Foundations of the new reform.    Harvard Educational Review, 50.

 

Published in: on November 2, 2011 at 7:01 pm  Tinggalkan sebuah Komentar  

ENGKIZAR SIQ. SPd.I

PENELITIAN EKSPERIMENTAL

PENELITIAN EKSPERIMEN SATU METODE DALAM PTK

I Pengertian Kajian Eksperimen    

  Eksperimen merupakan salah satu metode penelitian yang dapat dipilih dan digunakan dalam penelitian pembelajaran pada latar kelas (PTK). Penelitian eksperimental dapat diartikan sebagai sebuah studi yang objektif, sistematis, dan terkontrol untuk memprediksi atau mengontrol fenomena. Penelitian eksperimen bertujuan untuk menyelidiki hubungan sebab akibat (cause and effect relationship), dengan cara mengekspos satu atau lebih kelompok eksperimental dan satu atau lebih kondisi eksperimen. Hasilnya dibandingkan dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak dikenai perlakuan (Danim, 2OO2).

II. Karakteristik Penelitian Eksperimen

Danim (2002) menyebutkan beberapa karakteristik penelitian eksperimental, yaitu,

1)      Variabel-variabel penelitian dan kondisi eksperimental diatur secara tertib ketat (rigorous management), baik dengan menetapkan kontrol, memanipulasi langsung, maupun random (rambang).

2)      Adanya kelompok kontrol sebagai data dasar (base line) untuk dibandingkan dengan kelompok eksperimental.

3)      Penelitian ini memusatkan diri pada pengontrolan variansi, untuk memaksimalkan variansi variabel yang berkaitan dengan hipotesis penelitian, meminimalkan variansi variabel pengganggu yang mungkin mempengaruhi hasil eksperimen, tetapi tidak menjadi tujuan penelitian. Di samping itu, penelitian ini meminimalkan variansi kekeliruan, termasuk kekeliruan pengukuran. Untuk itu, sebaiknya pemilihan dan penentuan subjek, serta penempatan subjek dalam kelompok-kelompok dilakukan secara acak.

4)      Validitas internal (internal validity) mutlak diperlukan pada rancangan penelitian eksperimental, untuk mengetahui apakah manipulasi eksperimental yang dilakukan pada saat studi ini memang benar-benar menimbulkan perbedaan.

5)      Validitas eksternalnya (external validity) berkaitan dengan bagaimana kerepresentatifan penemuan penelitian dan berkaitan pula dengan penggeneralisasian pada kondisi yang sama.

6)       Semua variabel penting diusahakan konstan, kecuali variabel perlakuan yang secara sengaja dimanipulasikan atau dibiarkan bervariasi.

III. Langkah-Langkah Kegiatan Penelitian Eksperimen

Pada umumnya, penelitian eksperimental dilakukan dengan menempuh langkah-langkah seperti berikut, yaitu,

1)      Melakukan kajian secara induktif yang berkait erat dengan permasalahan yang hendak dipecahkan.

2)      Mengidentifikasi dan mendefinisikan masalah.

3)      Melakukan studi literatur dan beberapa sumber yang relevan, memformulasikan hipotesis penelitian, menentukan variabel, dan merumuskan definisi operasional dan definisi istilah.

4)      Membuat rencana penelitian yang didalamnya mencakup kegiatan.

  1. Mengidentifikasi variabel luar yang tidak diperlukan, tetapi memungkinkan terjadinya kontaminasi proses eksperimen.
  2. menentukan cara mengontrol.
  3. memilih rancangan penelitian yang tepat.
  4. menentukan populasi, memilih sampel (contoh) yang mewakili serta memilih sejumlah subjek penelitian.
  5. membagi subjek dalam kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen.
  6.  membuat instrumen, memvalidasi instrumen dan melakukan studi pendahuluan agar diperoleh instrumen yang memenuhi persyaratan untuk mengambil data yang diperlukan.
  7. mengidentifikasi prosedur pengumpulan data. dan menentukan hipotesis.

5)      Melaksanakan eksperimen.

6)       Mengumpulkan data kasar dan proses eksperimen.

7)      Mengorganisasikan dan mendeskripsikan data sesuai dengan variabel yang telah ditentukan.

8)      Menganalisis data dan melakukan tes signifikansi dengan teknik statistika yang relevan untuk menentukan tahap signifikasi hasilnya.

9)      Menginterpretasikan hasil, perumusan kesimpulan, pembahasan, dan pembuatan laporan (Sukardi, 2003).

IV. Rancangan Penelitian Eksperimen

Rancangan yang akan diterapkan dalam penelitian eksperimen meliputi: pra-eksperimental, eksperimen murni, dan eksperimen kuasi.

(1). Rancangan Pra-Eksperimental

Rancangan pra-eksperirnental yang sederhana ini berguna untuk mendapatkan informasi awal terhadap pertanyaan pada penelitian. Ada tiga hal yang lazim digunakan pada rancangan pra-eksperimental, yaitu:

a). Studi kasus bentuk tunggal (one-shot case study)

b). Tes awal – tes akhir kelompok tunggal (the one group pretest posttest)

c). Perbandingan kelompok statis (the static group comparison design)

(2). Rancangan Eksperimen Murni

Rancangan eksperimen murni ini mempunyai tiga karakteristik, yaitu:

a). Adanya kelompok kontrol.

b). Siswa ditarik secara ramdom dan ditandai untuk masing-masing kelompok.

c). Sebuah tes awal diberikan untuk mengetahui perbedaan antar kelompok.

Dua rancangan eksperimen secara garis besar dijelaskan sebagai berikut.

a)      Rancangan secara acak dengan tes akhir dan kelompok kontrol (the randomized posttest only control group design)

b)      Rancangan secara acak dengan tes awal dan tes akhir dengan kelompok kontrol (therandomized pretest-posttest control group design)

c)      Empat kelompok solomon (the randomized solomon four group design)

d)     Rancangan secara acak dengan pemasangan subjek melalui tes tes akhir dan kelompok kontrol (the randomized posttest – only control group design)\

e)      Rancangan secara acak dengan pemasangan subjek melalui tes awal-tes akhir dan kelompok kontrol (the randomized pretest – posttest cont rot group design, using)

(3). Rancangan Eksperimen Kuasi/Semu (Quasi—Experimental Design)

Rancangan eksperimental kuasi ini memiliki kesepakatan praktis antara eksperimen kebenaran dan sikap asih manusia terhadap bahasa yang ingin kita teliti. Beberapa rancangan eksperimen kuasi (eksperimen semu), yaitu:

a)      Rancangan dengan pemasangan subjek melalui tes akhir dan kelompok kontrol (therandomized posttest – only control group design, using matched subject).

b)      Rancangan dengan pemasangan subjek melalui tes awal-tes akhir dan kelompokkontrol (the randomnized posttest – only control group design, using matched subject).

c)      Rancangan tiga perlakuan dengan pengaruh imbangan (a three treatment counter balanced, using matched subject).

d)     Rancangan rangkaian waktu (a basic time-series design).

e)      Rancangan faktorial (factorial design).

DAFTAR PUSTAKA

Faisal, S. 1982. Metodologi Penelitian Pendidikan.Surabaya: Usaha Nasional

Fuchan, A. 2004. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

 

Published in: on Juni 19, 2011 at 4:51 am  Tinggalkan sebuah Komentar  

ISLAMISASI ILMU MENURUT PANDANGAN

SMN. AL- ATTAS DAN M.AL FARUQI

ENGKIZAR BIN MARTIAS

(P51186)

FAKULTI PENDIDIKAN

UNIVERSITI KEBANGSAAN MALAYSIA

2010

 

1.0 PENGENALAN

Pengislaman Ilmu atau Islamisasi ilmu adalah wacana yang tak kunjung selesai diperdebatkan oleh sebagian pemikir Islam. Dalam bahasa Arab Islamisasi ilmu disebut sebagai “Islamiyyat al-Ma’rifat” manakala dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Islamization of Knowledge”. (Miftahul Huda 2008) Dalam Islam, ilmu merupakan perkara yang amat penting malahan menuntut ilmu diwajibkan semenjak lahir hingga ke liang lahad. Ayat al-Quran yang pertama yang diturunkan berkaitan dengan ilmu yaitu surah al-’Alaq ayat 1-5. Menurut ajaran Islam, ilmu tidak bebas nilai–sebagaimana yang dikembangkan ilmuan Barat, akan tetapi ia sarat akan nilai, dalam Islam ilmu juga ilmu dipandang universal dan tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu dalam Islam.

Bahkan secara lugas editor American Journal of Islamic Social Sciences (AJISS) mengakui bahwa meskipun telah diadakan enam kali konferensi mengenai pendidikan Islam, yaitu di Makkah (1977), Islamabad (1980), Dakka (1981), Jakarta (1982), Kairo (1985), dan Amman (1990), dan berdirinya beberapa universitas yang memfokuskan pada Islamisasi pendidikan, namun hingga saat ini, tugas untuk menghasilkan silabus sekolah, buku-buku teks, dan petunjuk yang membantu guru di sekolah belum dilakukan (Wan Mohd Nor Wan Daud 1998)

Sesungguhnya usaha pengislaman ilmu ini telah terjadi sejak zaman Rasulullah s.a.w. dan para sahabat pada saat turunnya al-Quran dalam bahasa Arab. Al-Quran telah membawa bahasa Arab ke arah penggunaan yang lebih menenangkan dan damai sehingga merubah watak, perangai dan tingkah laku orang Arab ketika itu. Al-Quran juga merubah pandangan hidup mereka tentang alam semesta dan kehidupan dunia. Pengislaman ilmu ini diteruskan oleh para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama sehingga umat Islam mencapai kegemilangan dalam ilmu. Oleh itu, islamisasi dalam arti kata yang sebenarnya bukanlah perkara baru. Cuma dalam konteks “kerangka operasional” pengislaman ilmu-ilmu masa sekarang dicetuskan semula oleh tokoh-tokoh ilmuwan Islam seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas, Al-Faruqi, Fazlur Rahman, Syed Hussein Nasr dan lain-lain. Hal ini selari dengan pendapat (Wan Mohd Nor Wan Daud 1998) proses Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya telah berlangsung sejak permulaan Islam hingga zaman kita sekarang ini. Ayat-ayat terawal yang diwahyukan kepada nabi secara jelas menegaskan semangat Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, yaitu ketika Allah menekankan bahwa Dia adalah sumber dan asal ilmu manusia.

Sejarah telah mencatat bahawa revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial politik di Perancis pada paruh kedua abad ke-18 yang merupakan titik awal pencerahan (renaissance) di Eropa menuju peradaban modern sehingga mengantarkan dunia Barat mencapai sukses luar biasa dalam pengembangan teknologi masa depan. Sedangkan umat Islam malah mengalami kemunduran-kemunduran sistemik dalam alur peradabannya. Umat malah semakin kehilangan identity diri serta menajadi penonton kemajuan dunia, para pemain dikuasai oleh barat sepenuhnya. Hal ini selari dengan pendapat (Nurcholish Madjid 1997) dunia Islam dewasa ini merupakan kawasan bumi yang paling terbelakang di antara penganut-penganut agama besar di dunia

Sejak terjadinya pencerahan di Eropa, perkembangan ilmu-ilmu rasional dalam semua bidang kajian sangat pesat dan hampir keseluruhannya dipelopori oeh ahli sains dan cendikiawan Barat. Akibatnya, ilmu yang berkembang dibentuk dari acuan pemikiran falsafah Barat yang dipengaruhi oleh penyakit di Indonesia disebut SPILIS (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme) serta ditutup dengan Materialisme dan hedonisme. Maka dengan sendirinya secara konsep tentu, penafsiran, dan makna ilmu itu sendiri tidak bisa terhindar dari pengaruh pemikirannya.

 

2.0 SEJARAH IDE ISLAMISASI ILMU

Islamisasi ilmu pengetahuan pertamakali dimunculkan kembali oleh Syed Hossein Nasr, pemikir muslim Amerika kelahiran Iran, tahun 60-an. Beliau menyadari akan adanya bahaya sekularisme dan modernisme yang mengancam dunia Islam, karena itulah beliau meletakkan asas untuk konsep sains Islam dalam aspek teori dan praktikal melalui karyanya Science and Civilization in Islam (1968) dan Islamic Science (1976). (Rosnani hasyim 2005) Nasr bahkan mengklaim bahwa ide-ide Islamisasi yang muncul kemudian merupakan kelanjutan dari ide yang pernah dilontarkannya.

Gagasan tersebut kemudian dikembangkan oleh Syed M. Naquib al-Attas sebagai proyek “Islamisasi” yang mulai diperkenalkannya pada Konferensi dunia mengenai Pendidikan Islam yang Pertama di Makkah pada tahun 1977. Al-Attas dianggap sebagai orang yang pertama kali mengupas dan menegaskan tentang perlunya Islamisasi pendidikan, Islamisasi sains, dan Islamisasi ilmu. Dalam pertemuan itu beliau menyampaikan makalah yang berjudul “Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education”. Ide ini kemudian disempurnakan dalam bukunya, Islam and Secularism (1978) dan The concepts of Education in Islam A Framework for an Islamic Philosophy of Education (1980). Persidangan inilah yang kemudian dianggap sebagai pembangkit proses Islamisasi selanjutnya.

 

3.0 MEMAKNAI  ISLAMISASI ILMU

Ketika mendengar istilah Islamisasi Ilmu pengetahuan, ada sebuah kesan bahwa ada sebagian ilmu yang tidak Islam sehingga perlu untuk diislamkan. Dan untuk mengislamkannya maka diberikanlah kepada ilmu-ilmu tersebut dengan label “Islam” sehingga kemudian muncullah istilah-istilah ekonomi Islam, kimia Islam, fisika Islam dan sebagainya. Bahkan ada sebagian orang yang ceroboh menganggap Islamisasi sebagai suatu proses yang berkaitan dengan objek-objek eksternal, kemudiannya mengaitkannya dengan komputer, kereta api, mobil bahkan bom Islam. Pada tingkat yang lebih tinggi lagi, ada yang terbelengu oleh pandangan dualistis, memberikan perhatian yang sedikit sekali pada pengembangan yang telah dilakukan oleh para cendikiawan dan pemikir muslim, mereka lebih tertarik melakukan pengembangan institusi-institusi, seolah-olah institusi-institusi tersebut dapat didirikan dengan baik tanpa para cendikiawan dan pemikir yang mumpuni di dalamnya.

Untuk memperjelas pengertian yang terarah, penulis akan mengambil pendapat daripada pemikir-pemikir Islamisasi ilmu itu sendiri diantaranta iaitu:

Menurut al-Attas dalam (Wan Mohd Nor Wan Daud 1998)

Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belengu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa…Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya. Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya yang tidak sekuat proses evolusi dan devolusi.

Ini artinya dengan Islamisasi ilmu pengetahuan, umat Islam akan terbebaskan dari ikatan-ikatan serta segala sesuatu perkara yang bertentangan dengan Islam, sehingga timbul keharmonian dan kedamaian dalam dirinya, sesuai dengan fitrahnya. Dengan demikian penulis berkesimpulan bahawa Jelasnya, “ilmu hendaknya diserapkan dengan unsur-unsur dan konsep utama Islam setelah unsur-unsur dan konsep pokok dikeluarkan dari setiap ranting.

Manakala menurut Menurut (al-Faruqi 1984)

Islamisasi adalah usaha “untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argumen dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita).”

Maka Secara umum dapat dimaknai bahawa, Islamisasi dalam pengertian al-Faruqi adalah sesuatu ilmu tersebut dimaksudkan untuk memberikan respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang sekularistik dan Islam yang terlalu religius, seerta untuk menuangkan kembali keseluruhan khazanah pengetahuan umat manusia menurut wawasan Islam, alam model pengetahuan baru yang utuh dan integral tanpa pemisahan di antaranya.

Jika diamati serta dianalisa, walaupun cukup banyak persamaan yang terdapat di antara keduanya, dalam beberapa hal, secara prinsip, mereka berbeda. Untuk mensukseskan proyek Islamisasi, al-Attas sebenarnya lebih menekankan kepada subjek daripada ilmu, yaitu manusia, dengan melakukan pembersihan jiwa dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji, sehingga dalam proses Islamisasi ilmu tersebut dengan sendirinya akan terjadi transformasi pribadi serta memiliki akal dan rohani yang telah menjadi Islam secara kaffah.

Akan tetapi al-Faruqi lebih menekankan pada objek Islamisasi yaitu disiplin ilmu itu sendiri. Hal ini menurut analisa penulis mungkin saja menimbulkan masalah, khususnya ketika berusaha untuk merelevansikan Islam terhadap sains modern, karena bisa saja yang terjadi hanyalah proses labelisasi atau ayatisasi semata. Islam tidak tumbuh secara alami sejarah kegemilangannya dahulu, bahkan akan semakin terbelakang dengan hanya memakai yang telah semula jadi, bukan mencari sesuatu penemuan yang baru dalam ilmu pengetahuan itu sendiri.

 

4.0 KONTROVERSI ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN

Perdebatan seputar Islamisasi ilmu pengetahuan ini telah begitu lama terjadi di kalangan umat Islam. Semenjak dicadangkannya sekitar 32 tahun yang lalu, berbagai sikap baik yang pro maupun yang kontra terus bermunculan. Satu pihak dengan penuh antusias dan optimisme menyambut momentum ini sebagai awal revivalisme (kebangkitan) Islam. Namun di pihak lain menganggap bahwa gerakan “Islamisasi” hanya sebuah euphoria sesaat untuk mengobati “sakit hati” dan inferiority complex. Hal ini disebabkan oleh pandangan mereka yang menganggap sudah jauhnya ketertinggalan umat Islam dari peradaban Barat, sehingga gerakan ini hanya membuang-buang waktu dan tenaga dan akan semakin melemah seiring perjalanan waktu dengan sendirinya.

(Rosnani hasyim 2005) membagi golongan ini kepada empat kategori dari mereka iaitu:

1)      Golongan yang sependapat dengan gagasan ini secara teori dan konsepnya dan berusaha untuk merealisasikan dan menghasilkan karya yang sejalan dengan maksud Islamisasi dalam disiplin ilmu mereka.

2)      Golongan yang sependapat dengan gagasan ini secara teori dan konsep tetapi tidak mengusahakannya secara praktis.

3)      Golongan yang tidak sependapat dan sebaliknya mencemooh, mengejek dan mempermainkan gagasan ini.

4)      Serta dari kalangan yang tidak mempunyai pendirian terhadap isu ini. Mereka lebih suka mengikuti perkembangan yang dirintis oleh sarjana lainnya atau pun mereka tidak memperdulikannya.

Jika dicermati keempat golongan di atas tentu hanya golongan pertama dan kedua yang mempunyai keinginan-keinginan kea rah yang demikian, sedangkan golongan ketiga dan keempat penulis meyakini tidak akan terlalu memberikan pengaruh terhadap perkembangan Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri.

Menurut penulis setelah membaca, membandingkan satu dengan yang lain maka terdapat tiga ketegori, iaitu: dari pihak pencetus ide islamisasi itu sendiri mengenai paten ide tersebut, kemudian pihak intelektual muslim baik yang oposisi maupn pro dan kontra, serta pihak-pihak luar yang memang tidak senang dengan kemajuan dunia itu kembali, untuk lebih jelasnya golongan ini maka penulis akan huraikan secara singkat sebagai berikut:

4.1 Kontroversi Ide Sebagai Pencetus Islamisasi Ilmu

Inilah masalah klasik dalam dunia Islam, sejarah telah mencatat bahawa kehancuran-kehancuran Islam pada zaman kegemilangan dahulunya diakibatkan oleh, telah masuknya kepentingan-kepentingan peribadi, golongan, faham serta aliran pemikiran kedalam diri pemimpin-pemimpin  muslim dalam mencapai kecermelangan diri, sehinggga tujuan murni dalam mempertahankan, serta memajukan Negara islam gagal dilakukan.

Penulis melihat bahawa ketiga orang pengagas pertama ide ini merupakan tiga generasi yang berbeda iaitu:

Syed Hossein Nasr, pemikir muslim Amerika kelahiran Iran, tahun 60-an. Setelah ia menyadari akan adanya bahaya sekularisme dan modernisme yang mengancam dunia Islam, karena itulah beliau meletakkan asas untuk konsep sains Islam dalam aspek teori dan praktikal melalui karyanya Science and Civilization in Islam (1968) dan Islamic Science (1976). Nasr bahkan mengklaim bahwa ide-ide Islamisasi yang muncul kemudian merupakan kelanjutan dari ide yang pernah dilontarkannya. (Miftahul huda 2008)

Menurut Nasr, program sentral mengenai perlunya mengislamisasikan ilmu pengetahuan yang dihadapi umat Islam sekarang ini telah beliau tulis sejak sekitar tahun 60an. Hal itu didiskusikan dengan Naquib al-Attas dan kemudian menjadi perhatian sentral Ismail Raji al-Faruqi dan sejumlah cendikiawan muslim lainnya.

Manakala pada sisi lain menurut (Miftahul huda 2008) al-Faruqi menyatakan dirinya sebagai orang yang pertama dengan pernyataannya bahawa .

Ide tersebut murni berasal dari dirinya sebagaimana disampaikannya pada seminar di Islamabad pada Tahun 1982, “bahawa tidak ada seorangpun dari umat Islam yang memikirkan perlunya mengislamkan ilmu, memahami syarat-syaratnya, atau membicarakan langkah-langkahnya.” Al-Faruqi tidak mengakui bahwa ia terpengaruh ide-ide yang pernah digagas oleh Naquib al-Attas, walaupun dalam beberapa konsep tulisannya, al-Faruqi menggunakan beberapa istilah yang pernah digunakan al-Attas secara konsisten.

Hal ini membuat al-Attas cukup “berang” karena merasa idenya telah dicuri oleh al-Faruqi sehingga dia berujar.

“Terlepas dari kewajiban moral, tujuan mengakui sumber asal suatu ide yang penting adalah menunjukkan kepada mereka yang mengetahui subjek itu agar mengetahui arah yang benar demi kepentingan masyarakat:…Namun, jika para penulis muslim… terbiasa mengklaim ide-ide penting orang lain sebagai ide mereka sendiri atau sebagai ide orang lain lagi yang bukan pemilik asal ide itu, sesungguhnya mereka sama dengan menghancurkan sumber yang asli dan menghilangkan pengetahuan masyarakat dari arah yang benar.

Namun penulis lebih bersetuju dengan pendapat yang dikeluarkan oleh (Wan Mohd Nor Wan Daud1998) bahawa al-Attaslah sebagai pengembang pertama gagasan ini walaupun sudah mulai dibicarakan oleh Nars era sebelumnya. Kemudian berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap karya-karyanya sejak tahun 1958-1996, klaim Nasr tersebut tidak terbukti, karena dari karya-karyanya tersebut, tidak ditemukan sesuatu yang secara langsung mendukung ide serta gagasannya, beliau hanya secara implisit menunjukkan metode untuk mengislamkan sains modern dengan menyarankan agar sains modern diinterpretasikan dan direalisasikan ke dalam “konsepsi Islam”, dan mengenai Islamisasi, Nasr belum banyak memikirkannya sebagai program kependidikan dan filosofis yang terencana.

4.2 Kontroversi di Kalangan Intelektual Muslim

Dikalangan intelektual muslim sendiri dapat dikategorikan mereka yang bersetuju maupun yang kontradik dengan gagasan ini. Diantara pendukung gerakan Islamisasi ini iaitu: Jaafar Syeikh Idris, seorang ulama Sudan yang pernah mengajar di Universitas King Abdul Azis, Arab Saudi, Saifuddin, Hanna Djumhana Bastaman. Setelah disimpulkan  tegasnya mereka sepakat bahawa:

Menyarankan agar para cendikiawan muslim membawa pandangan Islam ke dalam bidang dan karya akademis mereka dalam rangka evolusi sosial Islam. Islamisasi adalah suatu keharusan bagi kebangkitan Islam, karena sentral kemunduran umat dewasa ini adalah keringnya ilmu pengetahuan dan tersingkirnya pada posisi yang rendah. gagasan ini merupakan proyek besar sehingga perlu kerjasama yang baik dan terbuka di antara para pakar dari berbagai disiplin ilmu agar terwujud sebuah sains yang berwajah Islami

Kemudian diantara pembantah gerakan ini adalah: Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdul Karim Soroush, Bassan Tibi, Hoodbhoy dan Abdul Salam. Setelah mengambil kesimpulan maka dengan tegas mereka menolak dan sepakat bahawa:

ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam menyalahgunakannya dan bahkan ia berkesimpulan bahwa “kita tidak perlu bersusah payah membuat rencana dan bagan bagaimana menciptakan ilmu pengetahuan Islami. Lebih baik kita manfaatkan waktu, energi dan uang untuk berkreasi. Karena menurutnya Islamisasi ilmu bukan termasuk kerja kreatif. Islamisasi ilmu tidak berbeda dengan pembajakan atau pengakuan terhadap karya orang lain. Sampai pada tingkat tertentu, Islamisasi tidak ubahnya kerja seorang tukang, jika ada seorang saintis berhasil menciptakan atau mengembangkan suatu ilmu, maka seorang Islam menangkap dan mengislamkannya

Setelah menganalisa kedua pendapat di atas maka penulis bersetuju dengan pendapat golongan yang utama, hal ini disebabkan oleh: walaupun wacana Islamisasi ilmu sudah merupakan tugas yang mencabar serta memerlukan masa, ruang dan waktu, akan tetapi penulis melihat sudah adanya beberapa gerakan dari sebagaian ilmuan Islam sendiri untuk ke arah yang demikian sebagai contoh.

Al-Attas sendiri contohnya sebagai penggagas ide ini telah menunjukkan suatu model usaha Islamisasi ilmu melalui karyanya, The Concept of Education in Islam. Dalam teks ini beliau berusaha menunjukkan hubungan antara bahasa dan pemikiran. Beliau menganalisis istilah-istilah yang sering dimaksudkan untuk mendidik  seperti ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Dan akhirnya mengambil kesimpulan bahwa istilah ta’dib merupakan konsep yang paling sesuai dan komprehensif untuk pendidikan. Usaha beliau ini pun kemudian dilanjutkan oleh cendikiawan muslim lainnya, sebut saja seperti Malik Badri (Dilema of a Muslim Psychologist, 1990); Wan Mohd Nor Wan Daud (The Concept of Knowledge in Islam,1989); dan Rosnani Hashim (Educational Dualism in Malaysia: Implications for Theory and Practice, 1996).


5.0 ANALISA PERBEDAAN MENDASAR  Al-ATTAS DENGAN AL-FARUQI

Jika dianalisa dan dicermati maka dalam beberapa hal, antara al-Attas dengan al-Faruqi mempunyai kesamaan pandangan, seperti pada tataran: epistemologi mereka sepakat bahwa ilmu tidak bebas nilai (value free) tetapi terikat (value bound) dengan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Mereka juga sependapat bahwa ilmu mempunyai tujuan yang sama yang konsepsinya disandarkan pada prinsip metafisika, ontologi, epistemologi dan aksiologi dengan tauhid sebagai kuncinya. Mereka juga meyakini bahwa Allah adalah sumber dari segala ilmu dan mereka sependapat bahwa akar permasalahan yang dihadapi umat Islam saat ini terletak pada sistem pendidikan yang ada, khususnya masalah yang terdapat dalam ilmu kontemporer. Dalam pandangan mereka, ilmu kontemporer atau sains modern telah keluar dari jalur yang seharusnya. Sains modern telah menjadi “virus” yang menyebarkan penyakit yang berbahaya bagi keimanan umat Islam sehingga unsur-unsur buruk yang ada di dalamnya harus dihapus, dianalisa, dan ditafsirkan ulang sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran Islam.

Walaupun cukup banyak persamaan yang terdapat di antara keduanya, dalam beberapa hal, secara prinsip, mereka berbeda. Untuk mensukseskan proyek Islamisasi, al-Attas lebih menekankan kepada subjek daripada ilmu, yaitu manusia, dengan melakukan pembersihan jiwa dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji, sehingga dalam proses Islamisasi ilmu tersebut dengan sendirinya akan terjadi transformasi pribadi serta memiliki akal dan rohani yang telah menjadi Islam secara kaffah. Sedangkan al-Faruqi lebih menekankan pada objek Islamisasi yaitu disiplin ilmu itu sendiri. Hal ini mungkin saja menimbulkan masalah, khususnya ketika berusaha untuk merelevansikan Islam terhadap sains modern, karena bisa saja yang terjadi hanyalah proses labelisasi atau ayatisasi semata

Terdapat juga perbedaan yang cukup mencolok mengenai ruang lingkup yang perlu diislamkan. Dalam hal ini, al-Attas membatasi hanya pada ilmu-ilmu pengetahuan kontemporer atau masa kini manakala al-Faruqi meyakini bahwa khazanah keilmuan Islam masa lalu juga perlu untuk diislamkan kembali sebagaimana yang telah dia canangkan di dalam kerangka kerjanya. Dan satu hal lagi, dalam metodologi bagi proses Islamisasi ilmu, al-Attas berpandangan bahwa definisi Islamisasi itu sendiri telah memberi panduan kepada metode pelaksanaannya di mana proses ini melibatkan dua langkah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan bagi al-Faruqi, hal itu belumlah cukup sehingga ia merumuskan suatu kaedah untuk Islamisasi ilmu pengetahuan berdasarkan prinsip-prinsip pertamanya yang melibatkan 12 langkah yang mesti ditempuh.

 

6.0 ANALISIS DAN KESIMPULAN

Berawal dari sebuah pandangan bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat ini telah terkontaminasi pemikiran barat sekuler dan cenderung ateistik yang berakibat hilangnya nilai-nilai religiusitas dan aspek kesakralannya. Di sisi lain, keilmuan Islam yang dipandang bersentuhan dengan nilai-nilai teologis, terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas tanpa memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu umum yang dianggap sekuler. Menyebabkan munculnya sebuah gagasan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan diantara keduanya sehingga ilmu yang dihasilkan bersifat religius dan bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian dikenal dengan istilah “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”.

Ide ini yang dilemparkan oleh Syed Hossein Nasr walaupun belum menggunakan identitas atau label yang jelas, dilanjutkan Syed M. Naquib al-Attas dan disebarluaskan oleh Ismail Raji al-Faruqi dengan langkah-langkah yang konkrit untuk mewujudkan tujuan gagasan tersebut pada dasarnya adalah sama yaitu untuk mencegah penyebaran  lebih luas “virus-virus” Westernisasi yang terkandung dalam ilmu pengetahuan modern (baca: sains Barat). Walaupun masih menjadi perdebatan sampai saat ini tentang siapa yag menjadi penggagas ide Islamisasi tersebut, karena masing-masing pihak meng”klaim” diri mereka sebagai penggagasnya, tapi menurut hemat penulis itu bukan persoalan yang penting. Hal mendesak yang harus dilakukan sekarang adalah merealisasikan gagasan itu sendiri, sehingga gagasan Islamisasi tidak terhenti dan hanya menjadi sebuah wacana yang berkembang dan selalu menimbulkan perdebatan. Karena disadari atau tidak, proses westernisasi terus berkembang di dunia Muslim tanpa ada usaha yang jelas untuk menghentikannya. Sebagai contoh, teori evolusi Darwin yang membahas asal-usul makhluk hidup sampai saat ini masih terus diajarkan kepada, tidak hanya di sekolah umum tapi juga di sekolah-sekolah yang berlabelkan Islam, dari pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi. Padahal teori ini telah diruntuhkan oleh Harun Yahya dengan bukti-bukti yang jelas dan tak terbantahkan tetapi hal ini seolah tidak mendapat perhatian yang serius dari para cendikiawan muslim. Proses westernisasi dan sekularisasi terus berjalan, sedikit demi sedikit agama mulai ditinggalkan dan akhirnya akan muncul generasi baru yang menggugat tidak lagi mempercayai keberadaan Tuhan.

Dalam beberapa hal, para pendukung Islamisasi belum mempunyai kata sepakat yang jelas baik dalam langkah-langkah yang harus dilakukan maupun ilmu pengetahuan yang harus di Islamisasi, tetapi itu bukan dijadikan alasan untuk menghentikan kegiatan ini. Walaupun banyak yang menentang gagasan Islamisasi tetapi mereka belum mempunyai argumen yang kuat untuk menafikannya. Mereka berpandangan semua ilmu itu berasal dari Allah SWT dan dengan sendirinya telah menjadi Islam, karena itu tidak perlu diislamkan lagi. Tapi bukankah seluruh umat manusia di dunia juga ciptaan Allah SWT tetapi tidak lantas semuanya menjadi baik dan juga tidak semuanya beragama Islam. Begitu juga dengan ilmu, pada dasarnya ia adalah baik tetapi ketika masuk ke wilayah rasional banyak pengaruh yang bisa menyesatkannya karena seorang ilmuwan biasanya bekerja sesuai dengan framework yang dimilikinya. Jika ia seorang sekuler maka ilmu yang dihasilkannya pun biasanya ikut menjadi sekuler, sehingga wajar jika Adul Salam menolak gagasan Islamisasi dan menolak adanya sains Islam, ia menceraikan pandangan Islam menjadi dasar metafisis kepada sains, karena ia merupakan produk dari pemikiran Barat yang sekuler.

Pada masa awal Islam sampai masa keemasannya memang tidak ada labelisasi Islam pada setiap ilmu pengetahuan, karena saat itu umat Islam mempunyai posisi yang kuat dan penguasa ilmu pengetahuan, walaupun tidak menggunakan label Islam, tapi framework yang mereka miliki berlandaskan Islam sehingga kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan saat itu semakna dengan Islamisasi. Ini berbeda dengan kondisi umat Islam saat ini, Islam berada pada posisi yang kalah, terhegemoni dan terdesak oleh keilmuan dan peradaban Barat sehingga untuk membuatnya bebas dari hegemoni tersebut perlu dimunculkan ciri keislaman yang tegas dan jelas dalam bidang keilmuwan.

Abdul Karim Soroush yang memandang realitas sebagai sebuah perubahan dan membatasi kajian ilmu pengetahuan hanya pada fenomena yang berubah sehingga ia mengambil kesimpulan bahwa Islamisasi sebagai sebuah gagasan yang tidak masuk akal dan tidak mungkin terlaksana. Padahal realitas itu ada yang tetap dan ada yang berubah. Begitu juga Bassam Tibi yang memandang Islamisasi hanya sebatas pribumisasi yang menegaskan kembali nilai-nilai lokal untuk menentang invansi ilmu pengetahuan global. Padahal Islamisasi merupakan produk dari “kegusaran” para cendikiawan yang melihat realitas perkembangan ilmu pengetahuan saat ini yang menyimpang dari worldview Islam. Karena itulah gagasan Islamisasi tidak hanya melakukan kritik terhadap ilmu pengetahuan modern tetapi juga berusaha memasukkan nilai-nilai Islam yang universal untuk menjadi worldview umat Islam.

Walaupun saat ini, dalam penilaian Rosnani Hashim, stamina untuk merealisasikan proyek Islamisasi ini sudah semakin menurun dan bahkan sudah berada pada titik yang paling rendah. Tapi itu jangan dijadikan alasan untuk menyerah dan menghentikan gagasan Islamisasi ini. Karena itulah, menurut hemat penulis, diperlukan energi baru untuk membangkitkan kembali semangat Islamisasi ilmu pengetahuan ini dengan menjadikan diri kita sendiri sebagai titik tolaknya yang didukung dengan pemahaman tentang Islam dan penghayatannya. Pada skala yang lebih besar, model lembaga seperti Baitul Hikmah yang pernah dibangun oleh Daulah Bani Abbasiyah perlu dihidupkan kembali sebagai tempat berkumpulnya para cendikiawan muslim di seluruh dunia dan menjadikannya center of knowledge dan pusat kajian Islamisasi ilmu pengetahuan. Selain itu, setiap negara yang mayoritas penduduknya umat Islam, seharusnya memiliki lembaga kajian yang sedemikian agar lebih mudah untuk mengadakan workshop atau seminar yang berkaitan dengan proyek Islamisasi ilmu pengetahuan, baik yang bersifat regional, nasional, bahkan internasional. Dan dengan adanya lembaga tersebut disetiap negara muslim, kerjasama antar institusi-akademik di bidang riset, penerbitan ataupun pertukaran sumber daya manusia lebih mudah untuk dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar negeri. Lembaga tersebut juga bisa dijadikan sebagai pusat penterjemahan karya para pakar muslim maupun ang non-muslim dalam berbagai disiplin keilmuan yang dianggap penting untuk mempercepat transformasi ilmu pengetahuan, selain itu juga bisa secara aktif menerbitkan jurnal-jurnal ilmiah hasil dari penemuan dan pemikiran intelektual muslim sehingga proses Islamisasi terus berjalan walaupun banyak tantangan yang menjadi penghalangnya.

Sebagai penutup dari makalah ini, penulis sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh Wan Mohd Nor Wan Daud yang mengatakan bahwa “ketika program Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer dan institusinya ini dipahami dan disebarkan dengan benar dan diterapkan dengan bijaksana, ia memiliki kemampuan yang unik dalam proses universalisasi prinsip-prinsip keagamaan dan etika-hukum, serta dalam mempersatukan pelbagai golongan umat manusia di sekitar mereka, yang mampu menerobos rintangan-rintangan linguistik, rasial, sosial-ekonomi, gender, bahkan religius.” Dan harus kita sadari bahwa untuk mengislamkan ilmu bukanlah pekerjaan mudah, tidak sekedar memberikan label Islam atau ayatisasi terhadap pengetahuan kontemporer, tetapi diperlukan kerja keras dan orang-orang yang mampu mengidentifikasi pandangan hidup Islam sekaligus mampu memahami budaya dan peradaban Barat sehingga apa yang menjadi cita-cita bersama bisa terealisasi sesuai dengan yang diinginkan.

RUJUKAN

Ahmad Tafsir. 2004.  Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.

Al-Faruqi, Ismail Raji, 1984.  Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Pustaka.

Armas, Adnin. 2005. Westernisasi dan Islamisasi Ilmu, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam INSIST: Jakarta

Bakar, Osman. 1994. Tauhid dan Sains. Bandung: Pustaka Hidayah.

Daud, Wan Mohd Nor Wan. 1998. The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy dkk, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas. Bandung: Mizan.

Hanna Djumhana Bastaman. 1997 Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hashim, Rosnani. 2005. Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan, dalam Islamisasi: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam. Jakarta

Hoodbhoy, Perves. 1996.  Ikhtiar Menegak Rasionalitas. Bandung: Mizan.

Madjid, Nurcholish. 1997. Kaki Langit Peradaban Islam Jakarta: Paramadina.

Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang

Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers.

Shopan, Mohammad. 2000. Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dalam Logos: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol.4 No.1.

Soleh, Ahmad Khudori. 2005. Ide-Ide tentang Islamisasi Ilmu: Pengertian, Perkembangan dan Respon, dalam Inovasi, Majalah Mahasiswa. UIN Malang Edisi 22.

——-, 2002. Mencermati Gagasan Islamisasi Ilmu Faruqi, dalam el-Harakah, edisi 57.

Tim Perumus Fakultas Tehnik Universitas Muhammadiyah Jakarta. 1998. Al-Islam dan Iptek Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Topik R. 2005. Kontroversi Islamisasi Sains, dalam Inovasi: Majalah Mahasiswa UIN Malang, Edisi 22.

Ummi. 2005. Islamisasi Sains Perspektif UIN Malang, dalam Inovasi: Majalah Mahasiswa UIN Malang, Edisi 22.

Zainuddin, M. 2003. Filsafat Ilmu: Persfektif Pemikian Islam. Malang: Bayu Media.

Zainuddin, el, all. 2004. Memadu sains dan Agama: menuju Universitas Islam Masa Depan. Malang: Bayumedia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Published in: on Januari 23, 2011 at 2:53 am  Tinggalkan sebuah Komentar  

Perkakas ‹ Engkizarquran’ Blog — WordPress

Perkakas ‹ Engkizarquran’ Blog — WordPress.

Published in: on Januari 21, 2011 at 3:04 pm  Tinggalkan sebuah Komentar  

 

Strategi Meningkatkan profesionalisme Guru Dalam Proses Pengajaran dan Pembelajaran

Disediakan oleh :
Engkizar Bin Martias (P 51186)

Fakulti Pendidikan
UNIVERSITI KEBANGSAAN MALAYSIA

1.0 Pengenalan

As teachers we must believe in change, we must know it is possible, or we wouldn’t be teaching because education is a constant process of change. Every single time you “teach” something to someone, it is ingested, something is done with it, and new human being emerges. Leo Buscaglia dalam Boon Pong Ying (2009)

Guru merupakan pemangkin wadah perjuangan untuk pelajar membina daya pemikiran yang analitikal, kritis dan kreatif bagi membentuk individu-individu yang boleh menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang berlaku di sekeliling mereka. Oleh yang demikian, guru itu sendiri harus menguasai kemahiran dan pengetahuan yang terkini untuk menjalankan tugas mereka. Justeru, guru harus meningkatkan profesionalisme diri masing-masing. Profesionalisme diri merupakan hasil daripada suatu proses pemikiran profesional dan tindakan dalam pembelajaran sepanjang hayat. Ia suatu proses di mana guru menyemak semula, membaharui dan melanjutkan komitmen mereka sebagai agen perubahan terhadap tujuan pengajaran; mereka menguasai dan memperkembangkan secara kritikal pengetahuan, kemahiran serta kecerdasan pelbagai yang diperlukan dalam pengajaran (Day,1999).
Guru adalah penggerak dalam sistem pendidikan di negara kita. Tanpa bantuan guru segala perancangan pendidikan yang disediakan oleh Kementerian Pelajaran Malaysia akan terbengkalai begitu saja. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sufean Hussin (2005 dalam Mohammed Sani 2007) guru merupakan pelaksana kurikulum dan menjadi teras dalam menentukan standard, mutu dan keberkesanan sistem pendidikan. Dengan kata lain, guru memainkan peranan utama untuk menyalurkan ilmu dan kemahiran mereka dalam pendidikan formal yang mana guru bertanggungjawab mendidik dan memimpin masyarakat (Mohammed Sani 2007).

Sebagaimana yang diketahui, peranan guru masa kini semakin mencabar. Maka guru perlu sentiasa menjunjung etika perguruan dan menjadi model akhlak yang baik kepada anak didiknya. Menurut Jamiah et al.(2007),dalam konteks pendidikan bersepadu, guru harus mempunyai daya jihad yang mantap untuk menangani cabaran di dalam organisasi sekolah khususnya. Guru yang boleh digelar sebagai muaalim yang berkepakaran dalam bidangnya, mudarris yang gigih mengajar, mu’adib yang mengamalkan adab dan nilai murni, murrabi yang sentiasa menyeru kepada kehidupan bertuhan, murshid yang menampakkan daya kepimpinan yang menyeluruh dan sebagai seorang yang sentiasa menunjukkan teladan yang baik dari segi tingkah laku Dari beberapa pendapat dan definisi di tas tegasnya dapat disimpulkan bahawa guru merupakan tonggak asas dalam menjalankan sebuah pendidikan, mereka bukan hanya sekedar alat pendidikan akan tetapi juga sebagai pemangkin murid dalam merubah tingkah laku serta pemberi keahlian bagi murid dalam mempersiapkan kehidupannya. Semua kualiti ini perlu ada di kalangan pendukung utama dalam organisasi sekolah iaitu para guru sendiri. kualiti ini amat penting untuk membantu dalam membina daya pemikiran yang analitik, kritikal dan kreatif bagi membentuk pelajar yang boleh menyesuaikan diri dengan perubahan yang berlaku di sekeliling mereka selaras dengan hala tuju sistem pendidikan.dan perbuatan (khudwah hasanah).

Oleh itu, untuk mencapai hasrat ini maka guru perlu kompeten dengan tugas yang telah diamanahkan kepada mereka sepertimana kata Sufean Hussin (1996), ” Guru pada ketika yang sama adalah pelajar. Ia perlu sentiasa belajar untuk mempertingkatkan ilmu pengetahuan dan kemahirannya bagi menjadi pendidik yang profesional, cekap, berkesan dan humanistik”.

2.0 Konsep P&P

Tugas utama seorang pengajar atau guru adalah untuk memudahkan pembelajaran para pelajar. Untuk memenuhi tugas ini, pengajar atau guru bukan sahaja harus dapat menyediakan suasana pembelajaran yang menarik dan harmonis, tetapi mereka juga menciptakan pengajaran yang berkesan. Ini bermakna guru perlu mewujudkan suasana pembelajaran yang dapat meransangkan minat pelajar di samping sentiasa memikirkan kebajikan dan keperluan pelajar. pembinaan potensi insan dalam semua aspek-rohani, kognitif, afektif dan fizikal dalam bentuk yang menyeluruh dan bersepadu. Berdasarkan Perspektif Persepadu Sejagat, matlamat asas pendidikan baik di peringkat sekolah rendah atau di peringkat sekolah rnenengah adalah untuk memanusiakan manusia dan pemperadabkan manusia (Nik Azis Nik Pa, 1997).

Maka, apakah yang perlu dilakukan dalam membuat perancangan tersebut? Terdapat pelbagai faktor yang perlu diambilkira, namun pada pandangan penulis, perkara utama dan paling asas dalam proses ini ialah perancangan itu perlu diasaskan pada konsep pengajaran dan pembelajaran yang mantap serta seiring dengan cita-cita negara. Pembinaan sebuah reka bentuk pengajaran pun berasaskan pada konsep pembelajaran tertentu. Ini kerana konsep yang kukuh akan menjadi landasan kepada sebarang tindakan yang diambil. Manakala konsep yang kabur akan membuahkan tindakan yang tidak keruan.Terdapat banyak definisi mengenai metod P&P. Gage dan Berliner (1991) mendefinisikan pembelajaran sebagai proses yang membawa kepada perubahan tingkah laku hasil daripada pengalaman. Ini termasuk perubahan penguasaan maklumat, fakta, konsep, prinsip, sikap, amalan, kemahiran berfikir, kemahiran melakukan kerja, perubahan tabiat, dan tingkah laku. Bagi Hamachek (1995) pembelajaran adalah proses yang melibatkan perubahan tingkah laku melalui pengalaman dan latihan. Dengan kata yang lain, pembelajaranbukan sahaja dirujuk sebagai hasi lyang diperhatikan tetapi juga kepada sikap, perasaan, dan proses intelektual yang jelas.

Hill (1971) mengatakan ahli-ahli psikologi telah membahagikan pembelajaran kepada dua bentuk iaitu: 1) Penjelasan (declarative); dan 2) Pengkaedahan (procedural). Pembelajaran-penjelasan melibatkan penghafalan dan penyimpanan maklumat sementara pembelajaran-pengkaedahan melibatkan proses penyusunan semula dan membentuk satu pola berkaitan dengan sesuatu aktiviti. Bagi Nicholls (2002) pembelajaran dikatakan berlaku apabila terdapat perDaripada pelbagai definisi di atas menunjukkan bahawa secara umunmya, pembelajaran adalah berhubung dengan bagaimana kita melihat dan memahami dunia, mengenai atau bagaimana kita making meaning (membuat membuat maksud, makna, pengertian) (Marton & Booth, 1997 dlm, Fry, Ketteridge, & Marshall, 2003). Tugas utama seorang pengajar atau guru adalah untuk memudahkan pengajaran & pembelajaran para pelajar. Untuk memenuhi tugas ini, pengajar atau guru bukan sahaja harus dapat menyediakan suasana pembelajaran yang menarik dan harmonis, tetapi mereka juga menciptakan pengajaran yang berkesan. Ini bermakna guru perlu mewujudkan suasana pembelajaran yang dapat meransangkan minat pelajar di samping sentiasa memikirkan kebajikan dan keperluan pelajar. Dalam sesi pembelajaran, guru kerap berhadapan dengan pelajar yang berbeza dari segi kebolehan mereka. Hal ini memerlukan kepakaran guru dalam menentukan strategi pengajaran dan pembelajaran. Ini bermakna, guru boleh menentukan pendekatan, memilih kaedah dan menetapkan teknik-teknik tertentu yang sesuai dengan perkembangan dan kebolehan pelajar. Strategi yang dipilih itu, selain berpotensi memeransangkan pelajar belajar secara aktif, ia juga harus mampu membantu menganalisis konsep atau idea dan berupaya menarik hati pelajar serta dapat menghasilkan pembelajaran yang bermakna.ubahan dalam perlakuan pelajar hasil daripada penglibatannya dalam suatu pengalaman pendidikan.Perlunya guru menarik perhatian pelajar dalam sesuatu pengajaran, aktiviti-aktiviti yang dipilih hendaklah yang menarik dan mempunyai potensi yang tinggi untuk membolehkan isi pelajaran dan konsep-konsep yang diterjemahkan secara jelas. Aktiviti harus boleh mempengaruhi intelek, emosi dan minat pelajar secara berkesan. Dalam merancang persedia mengajar, aktiviti-aktiviti yang dipilih perlu mempunyai urutan yang baik. Ia perlu diselaraskan dengan isi kemahiran dan objektif pengajaran. Lazimnya aktiviti yang dipilih itu adalah gerak kerja yang mampu memberi sepanuh pengaruh terhadap perhatian, berupaya meningkatkan kesan terhadap intelek, ingatan, emosi, minat dan kecenderungan serta mampu membantu guru untuk menjelaskan pengajarannya.

Proses pembelajaran melalui proses pemerhatian dan pemodelan Bandura (1986) mengenal pasti empat unsure utama dalam proses pembelajaran melalui pemerhatian atau pemodelan, iaitu pemerhatian (attention), mengingati (retention), re,produksi (reproduction), dan penangguhan (re inforcement) motivasi (motivion). Implikasi daripada kaedah ini keberkesanan pembelajaran dan pengajaran dapat dicapai melalui beberapa cara yang berikut: • Penyampaian harus cekap dan menarik • Demonstasi guru hendaklah jelas, menarik, mudah dan tepat • Hasilan guru atau contoh-contoh seperti ditunjukkan hendaklah mempunyai mutu yang tinggi

Apabila guru menggunakan kaedah ini untuk proses pengajaran dan pembelajaran secara tidak lansung akan meningkatkan kemahiran pelajar dalam pangajaran dan pembelajaran. Dalam suasana pengajaran dan pembelajaran, kemahiran-kemahiran bermaksud seseorang itu terlatih dan mempunyai pengalaman yang tinggi serta mendalam. Dalam proses pengajaran dan pembelajaran kebolehan menguasai kemahiran tertentu harus ditegaskan oleh guru, terutama kemahiran asas seperti menyelesaikan masalah, kemahiran berfikir secara kritis dan kreatif, kemahiran mendengar, bertutur, kemahiran membaca dan menulis dan sebagainya. Apabila pelajar menguasai kemahiran asas ini akan dapat membantu pelajar tersebut menguasai bidang-bidang ilmu yang lain dengan lebih mudah. Diambil daripada “http://ms.wikipedia.org/wiki/Teori_pembelajaran_dan_pengajaran

3.0 KONSEP STANDARD KOMPETENSI GURU

Menutut Perdana Menteri, Yang Amat Berhormat Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi dalam ucapannya sempena Hari Pekerja (2002), setiap pekerja hendaklah memiliki kemahiran, kebolehan, kecenderungan untuk berdaya saing serta keperibadian yang luhur dan bersedia menghadapi persekitaran kerja dunia tanpa sempadan yang semakin mencabar (Rohana & Mohd Tahir & Mariani 2005). Ini juga berlandaskan kepada Falsafah Pendidikan Kebangsaan iaitu pendidikan di Malaysia adalah satu usaha yang berterusan ke arah lebih memperkembangkan lagi potensi individu secara holistik dan bersepadu untuk melahirkan individu yang seimbang dan harmoni secara intelek, rohani, emosi dan jasmani berlandaskan kepercayaan dan kepatuhan kepada Tuhan. Usaha ini bertujuan untuk melahirkan warganegara Malaysia yang berpengetahuan dan cekap, yang mempunyai nilai-nilai diri tinggi, bertanggungjawab dan berkeupayaan mencapai kesejahteraan diri serta memberi sumbangan terhadap keharmonian dan kemakmuran keluarga, masyarakat dan negara.

Menurut Datuk Seri Hishammuddin Tun Hussein, Standard Kompetensi Guru merupakan satu penanda aras kepada standard latihan keguruan bagi melihat pencapaian dalam bidang latihan dan pendidikan guru (Sadatul 2007). Mohammed Sani (2007) menyatakan pula standard kompetensi guru merupakan satu set kriteria dari kompetensi minimum yang ditunjukkan dalam pelaksanaan kerja guru. (Mohammed Sani 2007).

Menurut Bahagian Pembangunan dan Penilaian Kompetensi, KPM (2003), kompetensi guru dapat dibahagikan kepada:

1. Kompetensi Umum (Generic Competencies) – Meliputi perkara-perkara yang perlu dimiliki oleh semua lapisan pegawai awam seperti pengetahuan, kemahiran, ciri-ciri peribadi, kepimpinan dan komunikasi dalam perkhidmatannya
2. Kompetensi Khusus (Functional Competencies) – Kompetensi seperti pengetahuan, kemahiran, dan ciri-ciri peribadi yang berkaitan tugas jawatan dalam perkhidmatan pegawai.

4.0 STRATEGI KE ARAH PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU

Globalisasi dan perubahan dalam dasar pendidikan Malaysia yang menuju ke arah kemajuan sosio ekonomi pula membuktikan guru perlu meningkatkan profesionalisme diri untuk mampu bersaing seiring dengan ledakan maklumat terkini. Antara strategi yang boleh meningkatkan profesinalisme guru adalah: melibatkan diri dalam latihan dalaman, kursus pendek kelolaan maktab, sistem pementoran, amalan refleksi melalui penulisan reflektif/jurnal dan fortopolio pengajaran, penyelidikan tindakan, latihan profesionalisme secara berterrusan, perkembangan profesional ”one-line” dan aktifitas Pusat Kegiatan Guru (Boon Pon Ying 2008)

4.1 Peningkatan Profesionalisme Melalui Latihan Dalam Perkhidmatan

Dalam era teknologi moden, perkembangan ilmu pengetahuan dan kemahiran dalam mata pelajaran pengkhususan, inovasi dalam pedagogi menuntut agar guru-guru dilatih semula semasa dalam perkhidmatan. Ia sememangnya dapat mempertingkat dan memperkukuh profesionalisme diri selain mengembangkan potensi insan ke tahap yang diingini. Sebagai guru, kita mampu memperkukuh kapasiti untuk memperbaiki pembelajaran pelajar dengan melanjutkan pengetahuan profesional kita dalam menguasai dan mengembangkan kemahiran-kemahiran serta memperjelas nilai-nilai profesional kita.

Guru yang berpandangan progresif mampu memperkaya diri dengan pengetahuan, kemahiran dan trenda-trenda pengajaran-pembelajaran baru melalui Kursus Pendek Kelolaan Maktab (KPKM). Berkaitan dengan ini, guru yang telah menghadiri kursus seharusnya menjalankan latihan dalaman untuk sekolah masing-masing agar semua guru dapat memperoleh pengetahuan dan kemahiran dalam bidang-bidang tertentu. Sebaran input-input yang baru seperti pembelajaran bestari, pengajaran Matematik dan Sains, Teknologi Maklumat dan Komunikasi, Bimbingan dan Kaunseling dan sebagainya diberi kepada guru akan meningkatkan kualiti pengajaran guru dari segi inovasi dalam pengaja

4.2 Amalan Refleksi Dan Penulisan Reflektif Ke Arah PeningkatanProfesionalisme Guru

Amalan refleksi dapat memperkaya diri dan merangsang amalan professional. Ia bertindak sebagai forum untuk membuat keputusan yang mengakibatkan tindakan tentang konteks pengajaran. Refleksi yang dikemukakan oleh Dewey (1933) menjadi batu asas dalam mengkaji proses kognitif guru semasa membuat keputusan tentang pengajaran dan pembelajaran. Perkembangan refleksi memerlukan perkembangan sikap dan kebolehan seperti keterbukaan, kerelaan untuk menerima tanggungjawab untuk membuat keputusan dan mengambil tindakan.

Refleksi memberi peluang guru menganalisis diri serta menyedari tentang kekuatan dan kelemahan diri. Dengan ini, guru dapat membuat pengubahsuaian serta membaiki proses pembelajaran mereka dengan efektif. Antara strategi yang boleh dilakukan oleh guru untuk meningkatkan profesionalisme mereka ialah penulisan jurnal/reflektif. Ia sebagai jentera untuk mereflek secara sistematik dan merangsangkan pemikiran reflektif. Kajian menunjukkan aktiviti ini merupakan salah satu strategi terbaik untuk mendorong guru mengamalkan penyiasatan reflektif dan penilaian kendiri terhadap isu-isu pengajaran dan pembelajaran (Bolin, 1988; Richert, 1990; Zeichner & Liston, 1987).

Dalam penulisan reflektif, Schon (1983, 1987) membezakan proses pemikiran kepada refleksi semasa tindakan di mana seseorang melihat semula dan memikirkan permasalahan yang wujud untuk memahami situasi manakala refleksi ke atas tindakan di mana guru merenung kembali proses pemikirannya dan menganalisis situasi sebelum merancang tindakan susulan. Kedua-dua refleksi semasa tindakan dan refleksi ke atas tindakan dapat membantu guru berkembang diri dalam bidang profesionalnya. Penulisan reflektif menggambarkan secara keseluruhan satu pola pemikiran yang beralih dari refleksi teknikal ke tahap refleksi kritikal.

Penulisan reflektif merupakan satu cara meninjau teori-teori pengajaran dan perkembangan professional. Pemikiran baru akan dirangsangkan dan melalui perbincangan dengan rakan sekerja, teori-teori dan persoalan-persoalan dipertikai dan diperkembangkan. Refleksi menyediakan satu asas yang kaya dan komprehensif mengenai pengajaran dan pembelajaran. Ia bukan sahaja membolehkan seseorang guru memperoleh pengertian mengenai tugasnya tetapi ia memberi pelbagai perspektif terhadap pengajaran yang boleh dicontohi atau dipelajari oleh guru-guru lain (Boon, 2002). Dalam pada itu, refleksi mempunyai nilai-nilai peribadi yang membawa kepada kepuasan intrinsik apabila guru dapat menganalisis sesuatu situasi atau pengalaman dengan sebaik mungkin

4.3.Portfolio Pengajaran Trenda Mengenai Pengajaran Dan Refleksi dan membentuk satu pandangan secara logik.

Berkait rapat dengan penulisan reflektif ialah pembentukan portfolio pengajaran sebagai cara guru meningkatkan profesionalisme diri. Portfolio pengajaran yang mengandungi koleksi bahan-bahan seperti artifek dan penulisan reflektif dapat memperkukuhkan perkembangan diri guru. Ia menggambarkan kemahirankemahiran, pengetahuan dan falsafah pengajaran peribadi seseorang itu. Portfolio pengajaran memberi impak yang besar dan membawa manfaat serta meningkatkan kualiti pengajaran guru dalam profesionnya. Ini kerana proses perkembangan portfolio secara berterusan memberi peluang guru membuat refleksi tentang perkembangan dan perubahan pelajarnya sepanjang masa.

Apabila seseorang guru meneliti amalan pengajaran sendiri, sudah tentu amalan penelitian pengajaran sendiri meletus penilaian kendiri terhadap tanggungjawabnya. Contoh-contoh amalan baik dalam portfolio boleh dikaji dan diguna atau diadaptasikan dalam bilik darjah. Menurut Shulman (1987), melalui portfolio pengajaran, guru akan menjadi lebih reflektif tentang apa yang mereka lakukan dalam pengajaran dan pembelajaran. Ia membantu guru mendokumentasi dan menerangkan tindakan mereka; membuktikan pengetahuan professional mereka dan membuat refleksi tentang apa, bagaimana dan mengapa mereka melakukan sesuatu tindakan (Loughran & Corrigan, 1995; Seldin, 1997).

Dengan mengimbas balik pengalaman-pengalaman lepas dalam portfolio, ia menggalakkan mereka mengenal pasti halangan-halangan dalam proses pengajaran dan pembelajaran dan memikirkan penyelesaian. Guru boleh mengubahsuai atau mengubah teknik pengajaran untuk mencapai matlamat. Portfolio pengajaran dan refleksi membantu perkembangan pemahaman masalah yang dihadapi kerana proses refleksi memandu arah untuk meneroka idea-idea dari sumbersumber lain. Pada hakikatnya, portfolio pengajaran digunakan sebagai satu cara dokumentasi professional dan refleksi peribadi (Seldin, 1997). Proses membina portfolio merangsang guru untuk memikirkan semula aktiviti pengajaran, keberkesanan strategi-strategi pengajaran dan merancang pendekatan baru atau teknik-teknik untuk masa akan datang. Maka, portfolio pengajaran dapat membekalkan satu pangkalan data pengetahuan professional dan perkembangan diri yang bermakna dan komprehensif di kalangan warga guru. Khazanah harian ini bernilai “berlian” jika digilap tetapi bagai kaca jika disalut debu atau terbiar sahaja.

Portfolio pengajaran menjadi tempat di mana pemikiran reflektif berlaku untuk menghalusi pengajaran sendiri. Seseorang guru boleh merekod kaedah mengetahui, mengumpul maklumat baru, memikirkan sama ada idea itu boleh diaplikasi atau tidak, mengambilkira sama ada idea baru sesuai atau tidak, dan menentukan apa yang perlu disimpan dan apa pula yang harus dihapus kira. Proses ini akan membentuk seorang guru itu mengamal tabiat serta sikap berfikir

4.4 Penyelidikan Tindakan Amalan Profesionalisme Yang Efektif dan berikhtiar dalam melaksanakan tugasnya.

alah menjalankan penyelidikan tindakan tentang semua aspek yang berkaitan dengan pengajaran. Idea-idea baru tentang kaedah-kaedah mengajar dalam pengajaran perlu diterokai. Budaya penyelidikan, penulisan dan pembacaan wajib dipupuk di kalangan guru untuk meningkatkan perkembangan profesionalisme diri serta bertindak secara professional.

Peningkatan profesionalisme diri merupakan proses perkembangan peribadi yang memerlukan suatu kesedaran tinggi tentang “what’s going on”, “why things are happening that way” dan “how are we going to resolve the problem”. Kesedaran tentang keputusan pedagogi dan tindakan hanya boleh dibentuk dengan penilaian kritikal melalui dialog reflektif, dokumentasi dan tindakan. Penyelidikan tindakan menyediakan cara untuk membolehkan proses tersebut berlaku. Untuk meningkatkan profesionalisme diri, guru wajar menjadikan profesion keguruan a research-based profesion iaitu profesion yang berasaskan kajian dan amalan pengajaran perlu berasaskan kajian saintifik dan bukan pendapat.

4.5 Amalan Konsep “Belajar Seumur Hidup”

seumur hidup”. Amalan membaca, menulis dan melakukan penyelidikan tindakan memperluaskan pengalaman, pengetahuan dan pandangan guru terhadap bidang. Ia menajamkan kecekapan serta keyakinannya dan ia akan menjadi kreatif, reflektif dan berinovasi dalam amalan pengajaran .

Guru mampu memperbaiki diri sebagai pelajar dalam paradigma belajar seumur hidup. Mereka perlu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan khususnya dalam era globalisasi dan teknologi maklumat dan komunikasi (ICT) kini, dan sebagai guru, kita harus mempertajam kemahiran mengajar melalui ICT, meneroka dan menukar maklumat dengan guru-guru lain yang lebih berpengalaman. Satu langkah yang bijak untuk meningkatkan profesionalisme diri ialah membuat jaringan/networking dengan guru-guru di negara lain sebagai mencerminkan imej pengantarabangsaan serta berpeluang untuk berkongsi ilmu, dan kemahiran dengan mereka. Program secara “on-line” merupakan perkembangan baru dalam ICT dan guru boleh mendapatkan segala maklumat tentang pengajaran dan pembelajaran secara “on-line”. Dapatan kajian menunjukkan guru-guru Bahasa Inggeris memperkembangkan profesionalisme diri melalui internet adalah menggalakkan. Antara contoh ialah VirTEC (Virtual Teacher Education Center) yang dibina dan menjadi satu landasan untuk merangsang guru dalam perkembangan professional guru Bahasa Inggeris (Mohamed Amin Embi, Muhammad Kamarul Kabilan & Azmi Abdul Latiff, 2002).

4.6 Sistem Pementoran Sebagai Cara Peningkatan Diri

Satu pendekatan untuk mempertingkat tahap professional diri guru ialah sistem pementoran di sekolah-sekolah. Guru boleh mengadakan perbincangan intelektual dengan guru yang lebih berpengalaman mengenai pengetahuan baru, teknik-teknik baru dan bimbingan dalam penilaian seperti pembinaan item soalan. Melalui sistem pementoran ini, setiap guru akan mempunyai seorang atau beberapa orang mentor di tempat bertugas bagi memberi nasihat, dan bimbingan berterusan agar dapat meningkatkan tahap profesionalisme mereka. Mengikut Anderson (1987), pementoran merujuk kepada :

…a nurturing process in which a more skilled or more experienced person, serving as a role model, teaches, sponsors, encourages, counsels and befriends a less skilled or less experienced person for the purpose of promoting the latter’s professional and/or personal development. Berdasarkan definisi di atas, ia membawa implikasi bahawa berlakunya proses perkembangan di mana orang yang mengasuh mampu untuk mengenal pasti kebolehan, pengalaman dan kematangan psikologikal seseorang yang sedang diasuh dan boleh memberi aktiviti-aktiviti yang akan membawa kepada peningkatan profesionalismenya.

4.7 Diskusi di Pusat Kegiatan Guru

Akhir sekali, guru boleh meningkatkan profesionalisme diri dengan mengadakan perjumpaan dengan guru-guru lain di Pusat Kegiatan Guru (PKG) untuk membincangkan dan membuat refleksi sesama mereka pengalaman mengajar topik-topik tertentu di samping mendapat input-input baru daripada fasilitator yang pakar dalam bidang-bidang tertentu. Guru-guru dapat menilai diri sendiri tentang pengajaran, memperoleh maklumbalas daripada rakan-rakan, membaca penulisan reflektif rakan-rakan dan berkongsi maklumat tentang strategi-strategi pengajaran dan pembelajaran. Apabila mereka mereflek dan membincang sesama rakan tentang pengalaman pengajaran, mereka akan menjadi “more thoughtful teachers”. Dengan cara ini, guru akan dapat menambahkan ilmu, ketrampilan dan berkongsi pengalaman bagaimana hendak memilih strategi terbaik untuk menyelesai masalah pengajaran dan pembelajaran sesuatu mata pelajaran seperti yang dinyatakan oleh Fullan dan Hargreaves (1993) bahawa guru perlukan interactive professionalism.

5.0 KESIMPULAN

Kualiti guru adalah asas kecemerlangan pelajar dan sekolah. Kewibawaan guru merupakan tunggak kepada profesionalisme guru. Guru sentiasa perlu membuat refleksi mendalam tentang diri sendiri dan amalan pengajaran – pembelajaran. Usaha guru untuk meningkatkan profesionalisme diri dari segi keilmuan, ketrampilan dan kemahiran serta pembentukan sahsiah yang berakhlak mulia. Dengan ini, guru dapat bergerak seiring dengan arus perubahan dalam era teknologi dan globalisasi.

 

RUJUKAN

Ahmad Mohd. Salleh. 1997. Pendidikan Islam: Falsafah, Pedagogi dan Metodologi. Shah Alam: Penerbit Fajar Bakti.

Ab. Halim Tamuri & kamarul Azmi Jasmi. 2007. Pendidikan Islam Kaedah pengajaran & Pembelajaran : penerbit Univertisi teknologi Malaysia.

Al-Bukhari. 1994. Shahih Al-Bukhari. Jilid 1-5. Beirut: Dar alFikr. Tahqiq: Syekh Abd. Aziz Abdullah.

Al-Nawawi, Imam. 2000. Mafhum: Riyadhus Shalihin. Kuala Lumpur: Bagian hal Ehwal Islam, Jabatan Perdana Menteri.

Al-Munziri, Imam Al-Hafiz Abd Al-Azim b. Abd Al-Qawi. 1990. Al-Targhib wa al Tarhib min al-Hadis al-Syarif. Beirut Dar Martabah al-Hayah, Jilid 1-2.

Gage, N. L., & Berliner, D. C. (1991). Educational psychology (5th ed.). Boston, MA: Houghton.

Hamachek, D. (1995). Psychology in teaching, learning & growth (5th ed.). Boston, MA: Allyn.

Ibnu-Mandhur, Jamal Al-Din Muhammad Ibn Mukram. 1990. Lisan al-‘Arab. Jil. 1-15. Beirut: Dar Sadir

Kamarul Azmi b. Jasmi. 2002. Paradigma Imam Al-Nawawi Dalam Pembangunan Insan: Satu Kajian Teks Terhadap kitab Riyad Al-Sholihin. Universiti Malaya.

Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib. 1981. Usul al-Hadth ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu. Damsyiq: Dar al-Fikr

 

 

 

 

Published in: on Januari 8, 2011 at 2:51 pm  Tinggalkan sebuah Komentar