ISLAMISASI ILMU MENURUT PANDANGAN
SMN. AL- ATTAS DAN M.AL FARUQI
ENGKIZAR BIN MARTIAS
(P51186)
FAKULTI PENDIDIKAN
UNIVERSITI KEBANGSAAN MALAYSIA
2010
1.0 PENGENALAN
Pengislaman Ilmu atau Islamisasi ilmu adalah wacana yang tak kunjung selesai diperdebatkan oleh sebagian pemikir Islam. Dalam bahasa Arab Islamisasi ilmu disebut sebagai “Islamiyyat al-Ma’rifat” manakala dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Islamization of Knowledge”. (Miftahul Huda 2008) Dalam Islam, ilmu merupakan perkara yang amat penting malahan menuntut ilmu diwajibkan semenjak lahir hingga ke liang lahad. Ayat al-Quran yang pertama yang diturunkan berkaitan dengan ilmu yaitu surah al-’Alaq ayat 1-5. Menurut ajaran Islam, ilmu tidak bebas nilai–sebagaimana yang dikembangkan ilmuan Barat, akan tetapi ia sarat akan nilai, dalam Islam ilmu juga ilmu dipandang universal dan tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu dalam Islam.
Bahkan secara lugas editor American Journal of Islamic Social Sciences (AJISS) mengakui bahwa meskipun telah diadakan enam kali konferensi mengenai pendidikan Islam, yaitu di Makkah (1977), Islamabad (1980), Dakka (1981), Jakarta (1982), Kairo (1985), dan Amman (1990), dan berdirinya beberapa universitas yang memfokuskan pada Islamisasi pendidikan, namun hingga saat ini, tugas untuk menghasilkan silabus sekolah, buku-buku teks, dan petunjuk yang membantu guru di sekolah belum dilakukan (Wan Mohd Nor Wan Daud 1998)
Sesungguhnya usaha pengislaman ilmu ini telah terjadi sejak zaman Rasulullah s.a.w. dan para sahabat pada saat turunnya al-Quran dalam bahasa Arab. Al-Quran telah membawa bahasa Arab ke arah penggunaan yang lebih menenangkan dan damai sehingga merubah watak, perangai dan tingkah laku orang Arab ketika itu. Al-Quran juga merubah pandangan hidup mereka tentang alam semesta dan kehidupan dunia. Pengislaman ilmu ini diteruskan oleh para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama sehingga umat Islam mencapai kegemilangan dalam ilmu. Oleh itu, islamisasi dalam arti kata yang sebenarnya bukanlah perkara baru. Cuma dalam konteks “kerangka operasional” pengislaman ilmu-ilmu masa sekarang dicetuskan semula oleh tokoh-tokoh ilmuwan Islam seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas, Al-Faruqi, Fazlur Rahman, Syed Hussein Nasr dan lain-lain. Hal ini selari dengan pendapat (Wan Mohd Nor Wan Daud 1998) proses Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya telah berlangsung sejak permulaan Islam hingga zaman kita sekarang ini. Ayat-ayat terawal yang diwahyukan kepada nabi secara jelas menegaskan semangat Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, yaitu ketika Allah menekankan bahwa Dia adalah sumber dan asal ilmu manusia.
Sejarah telah mencatat bahawa revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial politik di Perancis pada paruh kedua abad ke-18 yang merupakan titik awal pencerahan (renaissance) di Eropa menuju peradaban modern sehingga mengantarkan dunia Barat mencapai sukses luar biasa dalam pengembangan teknologi masa depan. Sedangkan umat Islam malah mengalami kemunduran-kemunduran sistemik dalam alur peradabannya. Umat malah semakin kehilangan identity diri serta menajadi penonton kemajuan dunia, para pemain dikuasai oleh barat sepenuhnya. Hal ini selari dengan pendapat (Nurcholish Madjid 1997) dunia Islam dewasa ini merupakan kawasan bumi yang paling terbelakang di antara penganut-penganut agama besar di dunia
Sejak terjadinya pencerahan di Eropa, perkembangan ilmu-ilmu rasional dalam semua bidang kajian sangat pesat dan hampir keseluruhannya dipelopori oeh ahli sains dan cendikiawan Barat. Akibatnya, ilmu yang berkembang dibentuk dari acuan pemikiran falsafah Barat yang dipengaruhi oleh penyakit di Indonesia disebut SPILIS (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme) serta ditutup dengan Materialisme dan hedonisme. Maka dengan sendirinya secara konsep tentu, penafsiran, dan makna ilmu itu sendiri tidak bisa terhindar dari pengaruh pemikirannya.
2.0 SEJARAH IDE ISLAMISASI ILMU
Islamisasi ilmu pengetahuan pertamakali dimunculkan kembali oleh Syed Hossein Nasr, pemikir muslim Amerika kelahiran Iran, tahun 60-an. Beliau menyadari akan adanya bahaya sekularisme dan modernisme yang mengancam dunia Islam, karena itulah beliau meletakkan asas untuk konsep sains Islam dalam aspek teori dan praktikal melalui karyanya Science and Civilization in Islam (1968) dan Islamic Science (1976). (Rosnani hasyim 2005) Nasr bahkan mengklaim bahwa ide-ide Islamisasi yang muncul kemudian merupakan kelanjutan dari ide yang pernah dilontarkannya.
Gagasan tersebut kemudian dikembangkan oleh Syed M. Naquib al-Attas sebagai proyek “Islamisasi” yang mulai diperkenalkannya pada Konferensi dunia mengenai Pendidikan Islam yang Pertama di Makkah pada tahun 1977. Al-Attas dianggap sebagai orang yang pertama kali mengupas dan menegaskan tentang perlunya Islamisasi pendidikan, Islamisasi sains, dan Islamisasi ilmu. Dalam pertemuan itu beliau menyampaikan makalah yang berjudul “Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education”. Ide ini kemudian disempurnakan dalam bukunya, Islam and Secularism (1978) dan The concepts of Education in Islam A Framework for an Islamic Philosophy of Education (1980). Persidangan inilah yang kemudian dianggap sebagai pembangkit proses Islamisasi selanjutnya.
3.0 MEMAKNAI ISLAMISASI ILMU
Ketika mendengar istilah Islamisasi Ilmu pengetahuan, ada sebuah kesan bahwa ada sebagian ilmu yang tidak Islam sehingga perlu untuk diislamkan. Dan untuk mengislamkannya maka diberikanlah kepada ilmu-ilmu tersebut dengan label “Islam” sehingga kemudian muncullah istilah-istilah ekonomi Islam, kimia Islam, fisika Islam dan sebagainya. Bahkan ada sebagian orang yang ceroboh menganggap Islamisasi sebagai suatu proses yang berkaitan dengan objek-objek eksternal, kemudiannya mengaitkannya dengan komputer, kereta api, mobil bahkan bom Islam. Pada tingkat yang lebih tinggi lagi, ada yang terbelengu oleh pandangan dualistis, memberikan perhatian yang sedikit sekali pada pengembangan yang telah dilakukan oleh para cendikiawan dan pemikir muslim, mereka lebih tertarik melakukan pengembangan institusi-institusi, seolah-olah institusi-institusi tersebut dapat didirikan dengan baik tanpa para cendikiawan dan pemikir yang mumpuni di dalamnya.
Untuk memperjelas pengertian yang terarah, penulis akan mengambil pendapat daripada pemikir-pemikir Islamisasi ilmu itu sendiri diantaranta iaitu:
Menurut al-Attas dalam (Wan Mohd Nor Wan Daud 1998)
Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belengu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa…Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya. Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya yang tidak sekuat proses evolusi dan devolusi.
Ini artinya dengan Islamisasi ilmu pengetahuan, umat Islam akan terbebaskan dari ikatan-ikatan serta segala sesuatu perkara yang bertentangan dengan Islam, sehingga timbul keharmonian dan kedamaian dalam dirinya, sesuai dengan fitrahnya. Dengan demikian penulis berkesimpulan bahawa Jelasnya, “ilmu hendaknya diserapkan dengan unsur-unsur dan konsep utama Islam setelah unsur-unsur dan konsep pokok dikeluarkan dari setiap ranting.
Manakala menurut Menurut (al-Faruqi 1984)
Islamisasi adalah usaha “untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argumen dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita).”
Maka Secara umum dapat dimaknai bahawa, Islamisasi dalam pengertian al-Faruqi adalah sesuatu ilmu tersebut dimaksudkan untuk memberikan respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang sekularistik dan Islam yang terlalu religius, seerta untuk menuangkan kembali keseluruhan khazanah pengetahuan umat manusia menurut wawasan Islam, alam model pengetahuan baru yang utuh dan integral tanpa pemisahan di antaranya.
Jika diamati serta dianalisa, walaupun cukup banyak persamaan yang terdapat di antara keduanya, dalam beberapa hal, secara prinsip, mereka berbeda. Untuk mensukseskan proyek Islamisasi, al-Attas sebenarnya lebih menekankan kepada subjek daripada ilmu, yaitu manusia, dengan melakukan pembersihan jiwa dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji, sehingga dalam proses Islamisasi ilmu tersebut dengan sendirinya akan terjadi transformasi pribadi serta memiliki akal dan rohani yang telah menjadi Islam secara kaffah.
Akan tetapi al-Faruqi lebih menekankan pada objek Islamisasi yaitu disiplin ilmu itu sendiri. Hal ini menurut analisa penulis mungkin saja menimbulkan masalah, khususnya ketika berusaha untuk merelevansikan Islam terhadap sains modern, karena bisa saja yang terjadi hanyalah proses labelisasi atau ayatisasi semata. Islam tidak tumbuh secara alami sejarah kegemilangannya dahulu, bahkan akan semakin terbelakang dengan hanya memakai yang telah semula jadi, bukan mencari sesuatu penemuan yang baru dalam ilmu pengetahuan itu sendiri.
4.0 KONTROVERSI ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
Perdebatan seputar Islamisasi ilmu pengetahuan ini telah begitu lama terjadi di kalangan umat Islam. Semenjak dicadangkannya sekitar 32 tahun yang lalu, berbagai sikap baik yang pro maupun yang kontra terus bermunculan. Satu pihak dengan penuh antusias dan optimisme menyambut momentum ini sebagai awal revivalisme (kebangkitan) Islam. Namun di pihak lain menganggap bahwa gerakan “Islamisasi” hanya sebuah euphoria sesaat untuk mengobati “sakit hati” dan inferiority complex. Hal ini disebabkan oleh pandangan mereka yang menganggap sudah jauhnya ketertinggalan umat Islam dari peradaban Barat, sehingga gerakan ini hanya membuang-buang waktu dan tenaga dan akan semakin melemah seiring perjalanan waktu dengan sendirinya.
(Rosnani hasyim 2005) membagi golongan ini kepada empat kategori dari mereka iaitu:
1) Golongan yang sependapat dengan gagasan ini secara teori dan konsepnya dan berusaha untuk merealisasikan dan menghasilkan karya yang sejalan dengan maksud Islamisasi dalam disiplin ilmu mereka.
2) Golongan yang sependapat dengan gagasan ini secara teori dan konsep tetapi tidak mengusahakannya secara praktis.
3) Golongan yang tidak sependapat dan sebaliknya mencemooh, mengejek dan mempermainkan gagasan ini.
4) Serta dari kalangan yang tidak mempunyai pendirian terhadap isu ini. Mereka lebih suka mengikuti perkembangan yang dirintis oleh sarjana lainnya atau pun mereka tidak memperdulikannya.
Jika dicermati keempat golongan di atas tentu hanya golongan pertama dan kedua yang mempunyai keinginan-keinginan kea rah yang demikian, sedangkan golongan ketiga dan keempat penulis meyakini tidak akan terlalu memberikan pengaruh terhadap perkembangan Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri.
Menurut penulis setelah membaca, membandingkan satu dengan yang lain maka terdapat tiga ketegori, iaitu: dari pihak pencetus ide islamisasi itu sendiri mengenai paten ide tersebut, kemudian pihak intelektual muslim baik yang oposisi maupn pro dan kontra, serta pihak-pihak luar yang memang tidak senang dengan kemajuan dunia itu kembali, untuk lebih jelasnya golongan ini maka penulis akan huraikan secara singkat sebagai berikut:
4.1 Kontroversi Ide Sebagai Pencetus Islamisasi Ilmu
Inilah masalah klasik dalam dunia Islam, sejarah telah mencatat bahawa kehancuran-kehancuran Islam pada zaman kegemilangan dahulunya diakibatkan oleh, telah masuknya kepentingan-kepentingan peribadi, golongan, faham serta aliran pemikiran kedalam diri pemimpin-pemimpin muslim dalam mencapai kecermelangan diri, sehinggga tujuan murni dalam mempertahankan, serta memajukan Negara islam gagal dilakukan.
Penulis melihat bahawa ketiga orang pengagas pertama ide ini merupakan tiga generasi yang berbeda iaitu:
Syed Hossein Nasr, pemikir muslim Amerika kelahiran Iran, tahun 60-an. Setelah ia menyadari akan adanya bahaya sekularisme dan modernisme yang mengancam dunia Islam, karena itulah beliau meletakkan asas untuk konsep sains Islam dalam aspek teori dan praktikal melalui karyanya Science and Civilization in Islam (1968) dan Islamic Science (1976). Nasr bahkan mengklaim bahwa ide-ide Islamisasi yang muncul kemudian merupakan kelanjutan dari ide yang pernah dilontarkannya. (Miftahul huda 2008)
Menurut Nasr, program sentral mengenai perlunya mengislamisasikan ilmu pengetahuan yang dihadapi umat Islam sekarang ini telah beliau tulis sejak sekitar tahun 60an. Hal itu didiskusikan dengan Naquib al-Attas dan kemudian menjadi perhatian sentral Ismail Raji al-Faruqi dan sejumlah cendikiawan muslim lainnya.
Manakala pada sisi lain menurut (Miftahul huda 2008) al-Faruqi menyatakan dirinya sebagai orang yang pertama dengan pernyataannya bahawa .
Ide tersebut murni berasal dari dirinya sebagaimana disampaikannya pada seminar di Islamabad pada Tahun 1982, “bahawa tidak ada seorangpun dari umat Islam yang memikirkan perlunya mengislamkan ilmu, memahami syarat-syaratnya, atau membicarakan langkah-langkahnya.” Al-Faruqi tidak mengakui bahwa ia terpengaruh ide-ide yang pernah digagas oleh Naquib al-Attas, walaupun dalam beberapa konsep tulisannya, al-Faruqi menggunakan beberapa istilah yang pernah digunakan al-Attas secara konsisten.
Hal ini membuat al-Attas cukup “berang” karena merasa idenya telah dicuri oleh al-Faruqi sehingga dia berujar.
“Terlepas dari kewajiban moral, tujuan mengakui sumber asal suatu ide yang penting adalah menunjukkan kepada mereka yang mengetahui subjek itu agar mengetahui arah yang benar demi kepentingan masyarakat:…Namun, jika para penulis muslim… terbiasa mengklaim ide-ide penting orang lain sebagai ide mereka sendiri atau sebagai ide orang lain lagi yang bukan pemilik asal ide itu, sesungguhnya mereka sama dengan menghancurkan sumber yang asli dan menghilangkan pengetahuan masyarakat dari arah yang benar.
Namun penulis lebih bersetuju dengan pendapat yang dikeluarkan oleh (Wan Mohd Nor Wan Daud1998) bahawa al-Attaslah sebagai pengembang pertama gagasan ini walaupun sudah mulai dibicarakan oleh Nars era sebelumnya. Kemudian berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap karya-karyanya sejak tahun 1958-1996, klaim Nasr tersebut tidak terbukti, karena dari karya-karyanya tersebut, tidak ditemukan sesuatu yang secara langsung mendukung ide serta gagasannya, beliau hanya secara implisit menunjukkan metode untuk mengislamkan sains modern dengan menyarankan agar sains modern diinterpretasikan dan direalisasikan ke dalam “konsepsi Islam”, dan mengenai Islamisasi, Nasr belum banyak memikirkannya sebagai program kependidikan dan filosofis yang terencana.
4.2 Kontroversi di Kalangan Intelektual Muslim
Dikalangan intelektual muslim sendiri dapat dikategorikan mereka yang bersetuju maupun yang kontradik dengan gagasan ini. Diantara pendukung gerakan Islamisasi ini iaitu: Jaafar Syeikh Idris, seorang ulama Sudan yang pernah mengajar di Universitas King Abdul Azis, Arab Saudi, Saifuddin, Hanna Djumhana Bastaman. Setelah disimpulkan tegasnya mereka sepakat bahawa:
Menyarankan agar para cendikiawan muslim membawa pandangan Islam ke dalam bidang dan karya akademis mereka dalam rangka evolusi sosial Islam. Islamisasi adalah suatu keharusan bagi kebangkitan Islam, karena sentral kemunduran umat dewasa ini adalah keringnya ilmu pengetahuan dan tersingkirnya pada posisi yang rendah. gagasan ini merupakan proyek besar sehingga perlu kerjasama yang baik dan terbuka di antara para pakar dari berbagai disiplin ilmu agar terwujud sebuah sains yang berwajah Islami
Kemudian diantara pembantah gerakan ini adalah: Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdul Karim Soroush, Bassan Tibi, Hoodbhoy dan Abdul Salam. Setelah mengambil kesimpulan maka dengan tegas mereka menolak dan sepakat bahawa:
ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam menyalahgunakannya dan bahkan ia berkesimpulan bahwa “kita tidak perlu bersusah payah membuat rencana dan bagan bagaimana menciptakan ilmu pengetahuan Islami. Lebih baik kita manfaatkan waktu, energi dan uang untuk berkreasi. Karena menurutnya Islamisasi ilmu bukan termasuk kerja kreatif. Islamisasi ilmu tidak berbeda dengan pembajakan atau pengakuan terhadap karya orang lain. Sampai pada tingkat tertentu, Islamisasi tidak ubahnya kerja seorang tukang, jika ada seorang saintis berhasil menciptakan atau mengembangkan suatu ilmu, maka seorang Islam menangkap dan mengislamkannya
Setelah menganalisa kedua pendapat di atas maka penulis bersetuju dengan pendapat golongan yang utama, hal ini disebabkan oleh: walaupun wacana Islamisasi ilmu sudah merupakan tugas yang mencabar serta memerlukan masa, ruang dan waktu, akan tetapi penulis melihat sudah adanya beberapa gerakan dari sebagaian ilmuan Islam sendiri untuk ke arah yang demikian sebagai contoh.
Al-Attas sendiri contohnya sebagai penggagas ide ini telah menunjukkan suatu model usaha Islamisasi ilmu melalui karyanya, The Concept of Education in Islam. Dalam teks ini beliau berusaha menunjukkan hubungan antara bahasa dan pemikiran. Beliau menganalisis istilah-istilah yang sering dimaksudkan untuk mendidik seperti ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Dan akhirnya mengambil kesimpulan bahwa istilah ta’dib merupakan konsep yang paling sesuai dan komprehensif untuk pendidikan. Usaha beliau ini pun kemudian dilanjutkan oleh cendikiawan muslim lainnya, sebut saja seperti Malik Badri (Dilema of a Muslim Psychologist, 1990); Wan Mohd Nor Wan Daud (The Concept of Knowledge in Islam,1989); dan Rosnani Hashim (Educational Dualism in Malaysia: Implications for Theory and Practice, 1996).
5.0 ANALISA PERBEDAAN MENDASAR Al-ATTAS DENGAN AL-FARUQI
Jika dianalisa dan dicermati maka dalam beberapa hal, antara al-Attas dengan al-Faruqi mempunyai kesamaan pandangan, seperti pada tataran: epistemologi mereka sepakat bahwa ilmu tidak bebas nilai (value free) tetapi terikat (value bound) dengan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Mereka juga sependapat bahwa ilmu mempunyai tujuan yang sama yang konsepsinya disandarkan pada prinsip metafisika, ontologi, epistemologi dan aksiologi dengan tauhid sebagai kuncinya. Mereka juga meyakini bahwa Allah adalah sumber dari segala ilmu dan mereka sependapat bahwa akar permasalahan yang dihadapi umat Islam saat ini terletak pada sistem pendidikan yang ada, khususnya masalah yang terdapat dalam ilmu kontemporer. Dalam pandangan mereka, ilmu kontemporer atau sains modern telah keluar dari jalur yang seharusnya. Sains modern telah menjadi “virus” yang menyebarkan penyakit yang berbahaya bagi keimanan umat Islam sehingga unsur-unsur buruk yang ada di dalamnya harus dihapus, dianalisa, dan ditafsirkan ulang sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran Islam.
Walaupun cukup banyak persamaan yang terdapat di antara keduanya, dalam beberapa hal, secara prinsip, mereka berbeda. Untuk mensukseskan proyek Islamisasi, al-Attas lebih menekankan kepada subjek daripada ilmu, yaitu manusia, dengan melakukan pembersihan jiwa dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji, sehingga dalam proses Islamisasi ilmu tersebut dengan sendirinya akan terjadi transformasi pribadi serta memiliki akal dan rohani yang telah menjadi Islam secara kaffah. Sedangkan al-Faruqi lebih menekankan pada objek Islamisasi yaitu disiplin ilmu itu sendiri. Hal ini mungkin saja menimbulkan masalah, khususnya ketika berusaha untuk merelevansikan Islam terhadap sains modern, karena bisa saja yang terjadi hanyalah proses labelisasi atau ayatisasi semata
Terdapat juga perbedaan yang cukup mencolok mengenai ruang lingkup yang perlu diislamkan. Dalam hal ini, al-Attas membatasi hanya pada ilmu-ilmu pengetahuan kontemporer atau masa kini manakala al-Faruqi meyakini bahwa khazanah keilmuan Islam masa lalu juga perlu untuk diislamkan kembali sebagaimana yang telah dia canangkan di dalam kerangka kerjanya. Dan satu hal lagi, dalam metodologi bagi proses Islamisasi ilmu, al-Attas berpandangan bahwa definisi Islamisasi itu sendiri telah memberi panduan kepada metode pelaksanaannya di mana proses ini melibatkan dua langkah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan bagi al-Faruqi, hal itu belumlah cukup sehingga ia merumuskan suatu kaedah untuk Islamisasi ilmu pengetahuan berdasarkan prinsip-prinsip pertamanya yang melibatkan 12 langkah yang mesti ditempuh.
6.0 ANALISIS DAN KESIMPULAN
Berawal dari sebuah pandangan bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat ini telah terkontaminasi pemikiran barat sekuler dan cenderung ateistik yang berakibat hilangnya nilai-nilai religiusitas dan aspek kesakralannya. Di sisi lain, keilmuan Islam yang dipandang bersentuhan dengan nilai-nilai teologis, terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas tanpa memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu umum yang dianggap sekuler. Menyebabkan munculnya sebuah gagasan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan diantara keduanya sehingga ilmu yang dihasilkan bersifat religius dan bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian dikenal dengan istilah “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”.
Ide ini yang dilemparkan oleh Syed Hossein Nasr walaupun belum menggunakan identitas atau label yang jelas, dilanjutkan Syed M. Naquib al-Attas dan disebarluaskan oleh Ismail Raji al-Faruqi dengan langkah-langkah yang konkrit untuk mewujudkan tujuan gagasan tersebut pada dasarnya adalah sama yaitu untuk mencegah penyebaran lebih luas “virus-virus” Westernisasi yang terkandung dalam ilmu pengetahuan modern (baca: sains Barat). Walaupun masih menjadi perdebatan sampai saat ini tentang siapa yag menjadi penggagas ide Islamisasi tersebut, karena masing-masing pihak meng”klaim” diri mereka sebagai penggagasnya, tapi menurut hemat penulis itu bukan persoalan yang penting. Hal mendesak yang harus dilakukan sekarang adalah merealisasikan gagasan itu sendiri, sehingga gagasan Islamisasi tidak terhenti dan hanya menjadi sebuah wacana yang berkembang dan selalu menimbulkan perdebatan. Karena disadari atau tidak, proses westernisasi terus berkembang di dunia Muslim tanpa ada usaha yang jelas untuk menghentikannya. Sebagai contoh, teori evolusi Darwin yang membahas asal-usul makhluk hidup sampai saat ini masih terus diajarkan kepada, tidak hanya di sekolah umum tapi juga di sekolah-sekolah yang berlabelkan Islam, dari pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi. Padahal teori ini telah diruntuhkan oleh Harun Yahya dengan bukti-bukti yang jelas dan tak terbantahkan tetapi hal ini seolah tidak mendapat perhatian yang serius dari para cendikiawan muslim. Proses westernisasi dan sekularisasi terus berjalan, sedikit demi sedikit agama mulai ditinggalkan dan akhirnya akan muncul generasi baru yang menggugat tidak lagi mempercayai keberadaan Tuhan.
Dalam beberapa hal, para pendukung Islamisasi belum mempunyai kata sepakat yang jelas baik dalam langkah-langkah yang harus dilakukan maupun ilmu pengetahuan yang harus di Islamisasi, tetapi itu bukan dijadikan alasan untuk menghentikan kegiatan ini. Walaupun banyak yang menentang gagasan Islamisasi tetapi mereka belum mempunyai argumen yang kuat untuk menafikannya. Mereka berpandangan semua ilmu itu berasal dari Allah SWT dan dengan sendirinya telah menjadi Islam, karena itu tidak perlu diislamkan lagi. Tapi bukankah seluruh umat manusia di dunia juga ciptaan Allah SWT tetapi tidak lantas semuanya menjadi baik dan juga tidak semuanya beragama Islam. Begitu juga dengan ilmu, pada dasarnya ia adalah baik tetapi ketika masuk ke wilayah rasional banyak pengaruh yang bisa menyesatkannya karena seorang ilmuwan biasanya bekerja sesuai dengan framework yang dimilikinya. Jika ia seorang sekuler maka ilmu yang dihasilkannya pun biasanya ikut menjadi sekuler, sehingga wajar jika Adul Salam menolak gagasan Islamisasi dan menolak adanya sains Islam, ia menceraikan pandangan Islam menjadi dasar metafisis kepada sains, karena ia merupakan produk dari pemikiran Barat yang sekuler.
Pada masa awal Islam sampai masa keemasannya memang tidak ada labelisasi Islam pada setiap ilmu pengetahuan, karena saat itu umat Islam mempunyai posisi yang kuat dan penguasa ilmu pengetahuan, walaupun tidak menggunakan label Islam, tapi framework yang mereka miliki berlandaskan Islam sehingga kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan saat itu semakna dengan Islamisasi. Ini berbeda dengan kondisi umat Islam saat ini, Islam berada pada posisi yang kalah, terhegemoni dan terdesak oleh keilmuan dan peradaban Barat sehingga untuk membuatnya bebas dari hegemoni tersebut perlu dimunculkan ciri keislaman yang tegas dan jelas dalam bidang keilmuwan.
Abdul Karim Soroush yang memandang realitas sebagai sebuah perubahan dan membatasi kajian ilmu pengetahuan hanya pada fenomena yang berubah sehingga ia mengambil kesimpulan bahwa Islamisasi sebagai sebuah gagasan yang tidak masuk akal dan tidak mungkin terlaksana. Padahal realitas itu ada yang tetap dan ada yang berubah. Begitu juga Bassam Tibi yang memandang Islamisasi hanya sebatas pribumisasi yang menegaskan kembali nilai-nilai lokal untuk menentang invansi ilmu pengetahuan global. Padahal Islamisasi merupakan produk dari “kegusaran” para cendikiawan yang melihat realitas perkembangan ilmu pengetahuan saat ini yang menyimpang dari worldview Islam. Karena itulah gagasan Islamisasi tidak hanya melakukan kritik terhadap ilmu pengetahuan modern tetapi juga berusaha memasukkan nilai-nilai Islam yang universal untuk menjadi worldview umat Islam.
Walaupun saat ini, dalam penilaian Rosnani Hashim, stamina untuk merealisasikan proyek Islamisasi ini sudah semakin menurun dan bahkan sudah berada pada titik yang paling rendah. Tapi itu jangan dijadikan alasan untuk menyerah dan menghentikan gagasan Islamisasi ini. Karena itulah, menurut hemat penulis, diperlukan energi baru untuk membangkitkan kembali semangat Islamisasi ilmu pengetahuan ini dengan menjadikan diri kita sendiri sebagai titik tolaknya yang didukung dengan pemahaman tentang Islam dan penghayatannya. Pada skala yang lebih besar, model lembaga seperti Baitul Hikmah yang pernah dibangun oleh Daulah Bani Abbasiyah perlu dihidupkan kembali sebagai tempat berkumpulnya para cendikiawan muslim di seluruh dunia dan menjadikannya center of knowledge dan pusat kajian Islamisasi ilmu pengetahuan. Selain itu, setiap negara yang mayoritas penduduknya umat Islam, seharusnya memiliki lembaga kajian yang sedemikian agar lebih mudah untuk mengadakan workshop atau seminar yang berkaitan dengan proyek Islamisasi ilmu pengetahuan, baik yang bersifat regional, nasional, bahkan internasional. Dan dengan adanya lembaga tersebut disetiap negara muslim, kerjasama antar institusi-akademik di bidang riset, penerbitan ataupun pertukaran sumber daya manusia lebih mudah untuk dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar negeri. Lembaga tersebut juga bisa dijadikan sebagai pusat penterjemahan karya para pakar muslim maupun ang non-muslim dalam berbagai disiplin keilmuan yang dianggap penting untuk mempercepat transformasi ilmu pengetahuan, selain itu juga bisa secara aktif menerbitkan jurnal-jurnal ilmiah hasil dari penemuan dan pemikiran intelektual muslim sehingga proses Islamisasi terus berjalan walaupun banyak tantangan yang menjadi penghalangnya.
Sebagai penutup dari makalah ini, penulis sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh Wan Mohd Nor Wan Daud yang mengatakan bahwa “ketika program Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer dan institusinya ini dipahami dan disebarkan dengan benar dan diterapkan dengan bijaksana, ia memiliki kemampuan yang unik dalam proses universalisasi prinsip-prinsip keagamaan dan etika-hukum, serta dalam mempersatukan pelbagai golongan umat manusia di sekitar mereka, yang mampu menerobos rintangan-rintangan linguistik, rasial, sosial-ekonomi, gender, bahkan religius.” Dan harus kita sadari bahwa untuk mengislamkan ilmu bukanlah pekerjaan mudah, tidak sekedar memberikan label Islam atau ayatisasi terhadap pengetahuan kontemporer, tetapi diperlukan kerja keras dan orang-orang yang mampu mengidentifikasi pandangan hidup Islam sekaligus mampu memahami budaya dan peradaban Barat sehingga apa yang menjadi cita-cita bersama bisa terealisasi sesuai dengan yang diinginkan.
RUJUKAN
Ahmad Tafsir. 2004. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
Al-Faruqi, Ismail Raji, 1984. Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Pustaka.
Armas, Adnin. 2005. Westernisasi dan Islamisasi Ilmu, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam INSIST: Jakarta
Bakar, Osman. 1994. Tauhid dan Sains. Bandung: Pustaka Hidayah.
Daud, Wan Mohd Nor Wan. 1998. The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy dkk, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas. Bandung: Mizan.
Hanna Djumhana Bastaman. 1997 Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hashim, Rosnani. 2005. Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan, dalam Islamisasi: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam. Jakarta
Hoodbhoy, Perves. 1996. Ikhtiar Menegak Rasionalitas. Bandung: Mizan.
Madjid, Nurcholish. 1997. Kaki Langit Peradaban Islam Jakarta: Paramadina.
Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang
Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers.
Shopan, Mohammad. 2000. Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dalam Logos: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol.4 No.1.
Soleh, Ahmad Khudori. 2005. Ide-Ide tentang Islamisasi Ilmu: Pengertian, Perkembangan dan Respon, dalam Inovasi, Majalah Mahasiswa. UIN Malang Edisi 22.
——-, 2002. Mencermati Gagasan Islamisasi Ilmu Faruqi, dalam el-Harakah, edisi 57.
Tim Perumus Fakultas Tehnik Universitas Muhammadiyah Jakarta. 1998. Al-Islam dan Iptek Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Topik R. 2005. Kontroversi Islamisasi Sains, dalam Inovasi: Majalah Mahasiswa UIN Malang, Edisi 22.
Ummi. 2005. Islamisasi Sains Perspektif UIN Malang, dalam Inovasi: Majalah Mahasiswa UIN Malang, Edisi 22.
Zainuddin, M. 2003. Filsafat Ilmu: Persfektif Pemikian Islam. Malang: Bayu Media.
Zainuddin, el, all. 2004. Memadu sains dan Agama: menuju Universitas Islam Masa Depan. Malang: Bayumedia.